Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya, jika para dokter berkata kepada orang yang sakit : “Tidak ada lagi obat untukmu selain makan daging anjing atau babi”, bolehkah ia memakannya? Atau jika ia diberi resep berupa khamr atau nabidz[1], bolehkah ia meminumnya?
Beliau menjawab :
Tidak boleh berobat dengan khamr dan barang haram yang lain dengan dalil-dalil berikut :
1. Hadits Wail bin Hujur radliyallahu ‘anhu bahwa Thariq bin Suwaid Al-Ju’fiy bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang khamr. Beliaupun melarang khamr. Maka Thariq berkata : “Saya hanya membuatnya untuk obat.” Beliau bersabda :
.إنه ليس بدواء ولكنه داء
“Sesungguhnya ia bukan obat tapi justru penyakit.” ( HR Ahmad dan Muslim ).[2]
2. Dan Abu Darda radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الله أنزل الداء وأنزل الدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرام
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obat dan menciptakan obat untuk setiap penyakit. Maka berobatlah dan jangan berobat dengan barang haram!” ( HR Abu Dawud ).[3]
3. Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berobat dengan barang haram.” Dan dalam sebuah riwayat : “Maksudnya adalah racun.” ( HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi ).[4]
4. Abdurrahman bin Utsman radliyallahu ‘anhu berkata : “Seorang tabib menyebut suatu obat disisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan bahwa salah satu ramuannya adalah katak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membunuh katak.” ( HR Ahmad, Abu Dawud dan Nasai ).[5]
5. Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata tentang minuman yang memabukkan :
إن إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kalian pada apa yang Dia haramkan atas kalian.” ( HR Bukhari dan diriwayatkan oleh Abu Hatim bin Hibban dalam shahihnya secara marfu’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ).[6]
Dalil-dalil ini dan sejenisnya jelas menunjukkan haramnya berobat dengan barang haram dan jelas mengharamkan (pengobatan dengan) khamr yang merupakan induk keburukan dan sumber segala dosa.
Adapun perkataan para dokter yang mengatakan bahwa penyakit tersebut tak bisa disembuhkan kecuali dengan obat ini, maka ini adalah perkataan orang yang tidak tahu, dan tidak akan diucapkan oleh orang yang (benar-benar) tahu kedokteran, apalagi orang yang mengenal Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kesembuhan tidak memiliki suatu sebab tertentu yang pasti. Tidak seperti rasa kenyang yang memiliki sebab tertentu yang pasti. Karena ada orang yang disembuhkan Allah tanpa obat, dan ada yang disembuhkan oleh Allah dengan obat-obat dalam tubuh –baik yang halal maupun haram-. Terkadang obat dipakai tapi tidak membawa kesembuhan, karena ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak seperti makan yang merupakan sebab rasa kenyang. Karenanya Allah membolehkan memakan barang haram bagi orang yang mudltor (terpaksa) ketika terpaksa oleh kelaparan, karena rasa laparnya hilang dengan makan dan tidak hilang dengan selain makan. Bahkan bisa mati atau sakit karena kelaparan. Karena (makan) adalah satu-satunya jalan untuk kenyang, Allah membolehkannya. Tidak seperti obat-obatan yang haram ( bukan satu-satunya jalan untuk sembuh).
Bahkan bisa dikatakan bahwa berobat dengan obat-obatan yang haram adalah tanda adanya penyakit dalam hati seseorang, yaitu pada imannya. Karena jika ia adalah bagian dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang beriman, maka Allah tidaklah menjadikan kesembuhannya pada apa yang diharamkan.Oleh karena itu, jika ia terpaksa makan bangkai atau sejenisnya, wajib baginya untuk memakannya menurut pendapat yang masyhur dari keempat imam madzhab. Sedangkan berobat (dengan barang halal sekalipun), hukumnya tidak wajib menurut sebagian besar ulama.[7] Bahkan mereka berbeda pendapat, apakah yang lebih afdol berobat atau meninggalkannya karena tawakkal.
Dan diantara dalil yang memperjelas hal ini, ketika Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi dsb, Dia tidak menghalalkannya kecuali untuk orang yang terpaksa (mudltor) dengan syarat tidak berlebihan dan tidak dalam keadaan maksiyat, sebagaimana disebutkan dalam ayat : (( Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.))[8] Dan kita ketahui bahwa berobat tidaklah termasuk kategori terpaksa, sehingga tidak boleh berobat dengannya.
Adapun barang haram yang dibolehkan karena hajah ( kebutuhan )[9] -maksudnya dibolehkan tidak hanya karena dlarurah ( keterpaksaan ) - seperti memakai sutera, telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi memberikan rukhshah ( keringanan ) bagi Zubair bin ‘Awwam dan Abdurrahman bin ‘Auf radliyallahu ‘anhuma untuk memakai sutera karena gatal pada tubuh beliau berdua. Ini boleh menurut pendapat yang benar di kalangan ulama karena memakai sutera hanya diharamkan jika dalam keadaan tidak perlu. Karenanya dibolehkan untuk wanita mengingat kebutuhan mereka untuk berhias dengannya, dan dibolehkan bagi mereka untuk menutup aurat dengannya tanpa pengecualian. Demikian pula kebutuhan untuk berobat dengannya. Bahkan hal itu mestinya lebih dibolehkan lagi. Sutera diharamkan karena unsur berlebih-lebihan, pamer dan kesombongan. Unsur-unsur ini tidak ada ketika ada kebutuhan. Demikian pula boleh memakai sutera karena dingin, atau karena tak punya penutup aurat selain sutera.
(Diterjemahkan dan diringkas oleh Ustadz Abu Bakr Anas Burhanuddin, Lc., M.A. dari Majmu’ Fatawa 24/266-276)
[1] Nabidz : Minuman memabukkan yang terbuat dari juice anggur, kurma, dll yang dibiarkan sampai memabukkan. ( Al-mu’jam Al-wasith 897 )
[2] HR Muslim Kitab Asyribah no.12
[3] HR Abu Dawud Kitab Thibb no. 3874
[4] HR Ahmad 2/305, Ibnu Majah Kitab Thibb bab 11, Tirmidzi Kitab Thibb bab 7.
[5] HR Ahmad 3/453, Nasai Kitab Shaid bab 36, Abu Dawud Kitab Thibb bab 11.
[6] HR Bukhari Kitab Asyribah bab 15.
[7] Lihat bantahan secara rinci terhadap orang yang mengkiaskan bolehnya berobat dengan barang haram atas bolehnya makan makanan haram karena dlarurah, di Majmu’ Fatawa 24/268!
[8] (QS. Al-Maidah:3).
[9] Syaikhul Islam menyebutkan kaidah “Ma ubiha lil hajati jazat tadawi bihi wama ubiha lidl dlarurati fala yajuzut tadawi bihi” (Apa yang dibolehkan karena kebutuhan boleh dipakai berobat, dan apa yang dibolehkan karena keterpaksaan tidak boleh dipakai berobat).