Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Mendekati
bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian
gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah
Subhanahu Wata’ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara
rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin
berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan
mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera mengembalikan persatuan kaum
muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).
Demikianlah
tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum
muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat
dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab,
terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah
sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala
nyatakan (yang artinya): “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian
agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha
buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama
ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada
perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Sholallahu
‘Alaihi Wasallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal
itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah.
Allah Subhanahu Wata’ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit)
adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman (yang artinya): “Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Demikian pula Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Jika
kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka
berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah
(menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah
tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak
maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Sholallahu
‘Alaihi Wasallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak
telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.
Namun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.
Syaikul
Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan
masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya,
mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab
bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim
ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti
ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak
dilihat.
Di
antara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang
baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang
banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan
pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah
(melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang
dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum
yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli
hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.
Banyak
nash-nash dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam masalah ini, dan
kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak
diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah
ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih
belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal
terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab
pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya
ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.
Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah
Subhanahu Wata’ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk
manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan
penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang
lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga
karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.
Allah
Subhanahu Wata’ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait
dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang
ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga
apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka
hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’,
‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.
Apa
yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling
baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan.
Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di
antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang
dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu
(dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa
asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat
hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.
Artinya,
waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang,
manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam
masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami),
nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak
seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan
tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada
perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis
(pengkaburan) dalam agama Allah k sebagaimana dilakukan ulama agama lain
terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan
‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda (yang artinya): “Sesungguhya
kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu
seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari
pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti
ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Subhanahu Wata’ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan (yang artinya): “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.
Penafian
dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal
yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang
menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu
umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak
menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan
“bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara
hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1]
di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda
antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil)
penulisan atau hisab.
Para
ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat
secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar
dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan
sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.
Kedua, Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Jangan
kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka
sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu ‘Anhu) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)
Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat
hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini
artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun
boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang
berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.
Berbeda
dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan
larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah
memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para
ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam
menghadapi ahli bid’ah.
Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.
Derajat
yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka
membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap
gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu
menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat
tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun
bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan
alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.
- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.
Jika
ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang
tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana
mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh
bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang
jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana
mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika
sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189
dengan ringkas)
Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Inilah
penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah yang cukup terang,
menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau
falak sebagai penentu awal bulan Islam.
Ini
pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan
fatwa Saudi Arabia, ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab
ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Subhanahu Wata’ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal
bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya
kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau
hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan
As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda
awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat
hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan
Arafah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: ‘Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.’” (Al-Baqarah: 189)
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: ‘Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.’” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
“Jika
kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya
maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka
sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu)
Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman
Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam
dan tiga kurun waktu yang Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam persaksikan
keutamaan dan kebaikannya.
Merujuk
kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan
bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah
yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat.
(Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq
‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin
Ghudayyan)
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh
beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa
karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka
tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi)
dan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): "Kami
adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu
adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya
pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan
begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”
Beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Dan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda (yang artinya): “Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)
Dan
hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan
wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak
ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada
hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah t telah menyebutkan ijma’ para
ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab.
Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi
taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Syubhat
Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Bulan
adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali
jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat ‘tentukanlah’ maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.
Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung”
(dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin
kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab?
(Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan
lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata (maka
tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin
‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma dari Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dengan lafadz (yang artinya): “Maka tentukanlah menjadi 30.”
Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz: “Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz: “Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga
dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin
Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi
dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah: “Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.
[1] Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya….. Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi n jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab… Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)
[1] Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya….. Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi n jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab… Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)