Saudariku muslimah….
Istri
shalihah percaya bahwa tempat terbaik untuk menjaga diri dari
keterjerumusan ke dalam jurang kebinasaan adalah tinggal di rumahnya,
karena itu ia tidak menjadi orang yang suka keluar dan pergi dari
rumahnya. Istri shalihah beriman terhadap firman Allah Ta’ala yaitu
perintah untuk tinggal di dalam rumahnya. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya):
"Dan tinggallah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian."(Al-Ahdzab:33)
Makna
ayat ini adalah perintah agar para wanita tetap tinggal di dalam rumah,
meskipun asalnya ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Sholalahu
‘Alaihi Wasallam namun wanita selain mereka masuk ke dalam ayat ini dari
sisi maknanya.
Hal ini kalau tidak ada dalil
khusus yang mencakup seluruh wanita, bagaimana? Sedangkan syari’at telah
menerangkan agar supaya wanita tinggal di rumah mereka dan menahan diri
untuk keluar dari rumah kecuali untuk suatu yang darurat. Allah Ta’ala
memerintahkan kepada para istri Nabi untuk tetap tinggal di rumah-rumah
mereka dan mereka menjadi orang yang dituju oleh ayat tadi secara
langsung sebagai bentuk penghormatan bagi mereka.
Ibnu
Katsir berkata dalam tafsirnya (3/482), "Tetaplah kalian di rumah
kalian, janganlah keluar tanpa ada kebutuhan, diantara kebutuhan yang
syar’i adalah shalat di masjid dengan berbagai syaratnya."
Muhammad
Bin Siriin berkata, "Saya diberitahu bahwa Saudah (Istri Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam) pernah ditanya,"Kenapa kamu tidak haji dan
juga tidak umrah seperti yang dilakukan oleh saudari-saudarimu?". Ia
menjawab, "Saya sudah pernah haji dan juga pernah umrah, Allah Ta’ala
memerintahkan untuk tetap tinggal di rumahku. Demi Allah, saya tidak
akan keluar rumahku sampai mati"."
Muhammad berkata, "Demi Allah, ia tidak pernah keluar dari pintu kamarnya hingga ia keluar dalam keadaan sudah menjadi jenazah."
Ibnul
‘Arabi berkata, "Sungguh saya telah memasuki beribu-ribu kampung, saya
belum pernah melihat wanita yang lebih menjaga keluarganya dan menjaga
harga dirinya daripada wanita Nablus, suatu negeri yang Nabi Ibrahim
pernah dilemparkan ke dalam api. Saya pernah tinggal di negeri tersebut
dan saya tidak pernah melihat seorang perempuan pun di jalanan pada
siang hari kecuali pada hari Jum’at, mereka keluar ke masjid pada hari
Jum’at hingga masjid-masjid pun penuh sesak dengan mereka. Bila telah
selesai shalat maka mereka segera kembali ke rumah mereka dan saya tidak
melihat seorang perempuan pun sampai hari Jum’at berikutnya."
Al ‘Allammah Kamaludin Al Adhami -semoga Allah merahmatinya-
berkata, "Tetap tinggal di rumah bagi seorang perempuan adalah gerbang
kebaikan, yang memasukinya akan aman kehormatannya, jiwanya, hartanya,
agamanya dan kemuliaannya. Rumahnya adalah tempat yang paling mulia
untuk menjaga diri dan kehormatannya, karena ia dapat menunaikan
kewajiban rumah tangganya, dapat memenuhi hak suami dan anak-anaknya
serta menjalankan ajaran agamanya tanpa disibukkan dengan berbagai
kesibukan di luar rumah. Bahkan ia mempunyai waktu luang untuk
beribadah, membaca buku-buku agama dan mempelajari akhlak yang sejati."
Saat
itulah ia bisa menikmati lezatnya hidup, ia juga akan bisa menyadari
bahwa kebahagiaan telah menyelimuti hidupnya. Bagaimana tidak demikian,
Rabbnya telah ridha kepadanya, suaminya puas dengannya karena ia
menjalankan semua yan menjadi kewajibannya. Kebahagiaan mana lagi yang
lebih besar bagi seorang perempuan daripada keridhaan Rabbnya dan
kepuasan suaminya. Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang suka
keluar dan pergi dari rumahnya, perempuan yang tidak betah tinggal di
rumahnya walau sesaat. Bahkan sukanya kesana kemari baik malam maupun
siang hari.
Berkumpul dan berbaur dengan semua
orang tanpa melihat apakah itu mahram atau bukan, halal atau haram. Bila
pulang ke rumahnya maka kepalanya sudah penuh berbagai macam tuntutan
dan permintaan karena pengaruh apa yang dilihat dan disaksikannya. Lalu
ia meminta uang kepada suaminya dan kadang suaminya tidak mampu memenuhi
permintaan maka mulailah menyala api perselisihan diantara keduanya.
Lantas ia pun tidak peduli dengan urusan rumahnya, pendidikan
anak-anaknya, tidak menjalankan kewajiban kepada Rabbnya juga terhadap
suaminya. Ia pun melecehkan buku-buku agama dan adab jika ia bisa
membaca dan menulis, bahkan ia konsentrasi untuk membaca buku-buku
murahan dan vulgar, bila dinasehati suaminya maka ia berbangga dengan
dosa yang dilakukannya malah ia meyerang balik dengan mencaci dan
mencelanya. Pada setiap saat kamu mendapati sesak dadanya, picik
pemikirannya dan inilah balasannya dengan sebab apa yang diperbuatnya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
"Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta" (Thaha: 124)
Itu semua
adalah akibat keluar dari rumah dan tidak adanya keterikatan dengan
hukum syar’i. Dampak negatif keluar dari rumah dan tidak menetap
didalamnya yang pertama kali adalah melecehkan dan meremehkan kenikmatan
yang ada padanya, menganggap suaminya dengan sebelah mata karena ia
telah melihat kehidupan yang lebih enak daripada yang dialaminya dan
mulailah ia mencela suaminya, apalagi kalau suaminya lebih tua atau
terlambat memberikan nafkahnya.
Lalu akan
merangkaklah bibit pertengkaran dan percekcokan yang kadang bisa
mengantarkan kepada perceraian dan perpisahan, dan pada saat itu rumah
tangganya jadi berantakan dan hidupnya menjadi hancur.
Perempuan
yang tetap tinggal di dalam rumahnya, akan kamu lihat ia berada dalam
puncak kenikmatan dan berdampingan dengan suaminya yang terbaik. Matanya
tidak jelalatan kepada selain suaminya, ia tidak mengingkari kenikmatan
yang diberikan suaminya walaupun sedikit. Tidak ada celah bagi setan
untuk menciptakan perselisihan di antara keduanya. Keduanya hidup
bersama dengan penuh kebahagiaan dan kecerahan hidupnya di ridhai, semua
itu adalah berkah dari tetap tinggalnya seorang perempua di rumahnya.
Saudariku Muslimah….
Islam
menghendaki seorang istri shalihah berada dalam keadaan yang sangat
baik, jauh dari keragu-raguan dan syubhat-syubhat. Karena itu bila
memang ada kebutuhan yang mendesak untuk keluar rumah maka hendaknya ia
keluar dengan memakai hijab (pakaian penutup aurat), berjalan dengan
sopan, menundukkan mata dan menghindari jalan bagian tengah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Tidak boleh bagi wanita berjalan di jalan bagian tengah"
(Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (7/447), Ad Daulabi (1/45),
Al Baihaqi (7821,7823) dalam kitab Syu’abul Iman dan ada beberapa
penguatnya)
Wanita shalihah berjalan di pinggir
jalan bukan di tengahnya, karena berjalan di tengah jalan merupakan
sebab dirinya menjadi sasaran pandang kaum lelaki, lalu berjalannya
tersebut menghilangkan kewibawaan dirinya dan penghormatan kepadanya.
Adapun wanita yang berjalan di pinggir jalan jauh dari bagian tengahnya,
maka ia telah mengurangi sorotan pandangan kaum lelaki dan menjauhkan
penilaian negatif terhadap dirinya. Ia keluar rumahnya dengan memakai
hijabnya, berjalan dengan dengan penuh penghormatan, jauh dari segala
hal yang bisa mendatangkan syubhat.
Saudariku Muslimah….
Maksud
hadits ini bukan seperti yang banyak disangka oleh sebagian besar
muslimah bahwa maksid hadits ini adalah membatasi ruang gerak seorang
perempuan atau mengurangi peranannya. Sesungguhnya maksudnya adalah
untuk mengatur bagaimana seorang perempuan keluar dari rumahnya
Hukum
asalnya seorang perempuan adalah tinggal di rumahnya, memikirkan urusan
rumahnya dan tidak keluar kecuali dalam keadaan darurat saja. Kalaulah
seorang perempuan ingin bekerja maka harus pada hal-hal yang dibolehkan
oleh syari’at yang lurus ini, berupa pekerjaan-pekerjaan yang memang
khusus bagi kaum hawa.
Adapun seorang perempuan keluar dari rumahnya dengan berpenampilan tabarruj
(berdandan tidak menutup aurat), berkeliaran di jalan-jalan, bercampur
baur dengan lelaki dengan anggapan bahwa ia sedang bekerja dan berusaha
maka dalam perkara ini memerlukan pemikiran yang panjang. Seorang
perempuan mestinya instropeksi diri dan menimbang-nimbang pekerjaanya.
Kemanakah perginya agama dia karena sebab ngobrol dengan lelaki dalam
perkara yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Bahkan kemanakah
perginya pekerjaanya yang semestinya seorang perempuan berlomba-lomba
untuk bisa memberikan manfaat kepada anak-anak generasi kaum muslimin
atau untuk kaum hawa sejenisnya? Sesungguhnya seorang istri pada saat
ini menganggap bahwa pekerjaan merupakan sarana untuk mencukupi dirinya
dan dunianya, menurut kadar pemahaman agamanya yang lemah.
Lalu bagaimana keadaanmua wahai para istri dan saudariku muslimah….
Andai
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam melihat keadaan wanita saat ini
dan melihat perbuatan mereka yang sia-sia di jalanan juga melihat
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan yang dilakukan wanita pada saat ini,
apakah yang akan dikatakan oleh beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ?!!!
Ibu
kita, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, seandainya Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita
pada saat ini, tentulah beliau tidak akan mengizinkan mereka untuk
keluar, yakni keluar ke masjid untuk shalat".
Perkataan
beliau ini diucapkan tak selang lama setelah wafat Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, lantas bagaimana keadaan para wanita pada
zaman kita ini yang sangat jauh dari zaman Nabi Sholallahu ‘Alahi
Wasallam dan telah lewat 15 abad dari masa beliau Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam ?!
Wahai para wanita yang ingin mencapai martabat istri shalihah
Wahai para wanita yag menginginkan kebahagiaan rumah tangga.
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabbmu
Wahai para wanita yag menginginkan kebahagiaan rumah tangga.
Kalian harus tetap tinggal di rumahmu, menangislah untuk kesalahanmu dan carilah keridhaan Rabbmu
Disadur dan diterjemah oleh Al-Ustadz Abu Muqbil Ahmad Yuswaji dari kitan Linnisaa Faqath, Az Zaujah Ash Shalihah
Sumber: Majalah As Salam no IV/ Tahun II-2006 M/1427 H
Sumber: Majalah As Salam no IV/ Tahun II-2006 M/1427 H