Monday, March 16, 2015

Kaidah Yang (Hampir) Ditinggalkan Dalam Beragama (1/4)

“Mengapa umat Islam terpecah belah? Ada yang berpemahaman seperti ini, ada yang seperti itu? Sebagian dari mereka, saling ‘berantem’, padahal mereka sama-sama memiliki Al-Qur’an yang sama, sunnah/hadits dari sumber yang sama?” Mungkin kebingungan ini sering terlintas dalam benak seorang muslim, yang memperhatikan keadaan saudaranya (kaum muslimin).

Sebagian dari mereka tidak mengambil pusing, membiarkan saudaranya menyimpang jauh, tidak menasehatinya dengan berkata, “Sudah jangan diganggu, bener atau tidak kita nggak tahu. Lihat saja nanti ketika hari Kiamat atau di akhirat, siapa yang benar.” Seolah-olah standar kebenaran yang menjadi tolok ukur telah hilang, sehingga masuk Surga itu ‘untung-untungan’ saja.


Rasulullah telah meninggalkan 2 hal yang umatnya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Qur’an dan Sunnah. Jika lihat kenyataannya, mengapa banyak kaum muslimin yang beragama dengan keduanya, tapi mengkafirkan saudaranya, tidak beradab kepada orang tuanya dan lain-lain? Apakah kita berani menyalahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Tentu tidak! Maka artikel ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dengan mengetengahkan suatu kaidah dalam memahami kedua sumber hukum Islam itu. Kaidah yang sejak dahulu ada pada zaman Rasulullah.


1 Meniti Al-Qur’an & As-Sunnah Menurut Pemahaman Salafus Shalih 1

Sejak dahulu sampai sekarang tidak ada satupun kaum muslimin yang berbeda pendapat bahwa jalan yang diridhai oleh Allah bagi kita adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kepadanyalah mereka menuju dan dari situlah mereka bertolak. Kendati mereka berbeda pendapat dalam proses pengambilan
dalil dari kedua sumber ini.

Allah telah memberi jaminan ke-istiqomah-an bagi siapa saja yang mengikuti Al-Qur’an. Ketika menghikayatkan perkataan rombongan jin yang beriman, Allah berfirman,

Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (QS. 46: 30).

Allah juga memberi jaminan bagi siapa saja yang mengikuti rasul. Allah telah berfirman tentang beliau,

Dan sesungguhnya pada kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang benar. (QS. 42: 52).

Akan tetapi faktor yang membuat kelompok-kelompok dalam Islam itu menyimpang dari jalan yang lurus adalah kelalaian mereka terhadap rukun ketiga yang sebenarnya telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yakni memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Surat Al-Fatihah
secara gamblang telah menjelaskan ketiga rukun tersebut. Firman Allah,

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS 1: 6).

Ayat ini mencakup rukun pertama dan kedua, yakni kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Firman Allah,

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; (QS. 1: 7).

Ayat ini mencakup rukun ketiga, yakni merujuk kepada pemahaman salafus shalih dalam meniti jalan yang lurus tersebut. Padahal sudah tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah pasti telah mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus.

Berhubung metode manusia dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah berbeda-beda, ada yang benar dan ada yang salah, maka haruslah memenuhi rukun ketiga untuk menghilangkan perbedaan tersebut, yaitu merujuk kepada pemahaman salafus shalih. Ibnul Qayyim berkata,

Perhatikanlah hikmah berharga yang terkandung dalam penyebutan sebab dan akibat ketiga kelompok manusia (yang tersebut di akhir surat Al-Fatihah -pent) dengan ungkapan yang sangat ringkas. Nikmat yang dicurahkan kepada kelompok pertama adalah nikmat hidayah, yakni ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.2

Beliau melanjutkan,


“Setiap orang yang paling mengetahui kebenaran dan berkomitmen
untuk mengikutinya, tentu paling berhak berada di atas ‘Shirathal
Mustaqim’. Sudah tidak diragukan lagi bahwa yang paling berhak disifati demikian adalah para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka semuanya) ketimbang kaum Rafidhah… Oleh sebab itu, ulama salaf menafsirkan Shirathal Mustaqim dengan Abu Bakar, Umar dan seluruh sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.”3

Uraian di atas merupakan penegasan dari beliau bahwa generasi yang paling utama dikaruniai oleh Allah ilmu dan amal shalih adalah para sahabat rasul radhiyallahu ‘anhum. Hal itu karena mereka telah menyaksikan langsung turunnya Al-Qur’an, menyaksikan sendiri takwil shahih yang mereka pahami dari petunjuk rasul yang mulis. Sebagaimana dituturkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

“Barangsiapa diantara kamu ingin mengikuti sunnah, maka ikutilah
sunnah orang-orang yang telah mati. Karena orang yang masih hidup tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan). Mereka adalah sahabat-sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaik umat ini. Generasi yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang tidak banyak mengada-ada, kaum yang telah dipilih Allah menjadi sahabat Nabi-Nya dalam menegakkan agama-Nya.

Kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kami. Karena mereka adalah generasi yang berada di atas Shirathal Mustaqim.”4

Beliau juga berkata,


Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya. Allah menemukan hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati hamba-Nya. Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba setelah hati Muhammad. Allah dapati hati sahabat-sahabat beliau adalah sebaik-baik hamba. Maka Allah mengangkat mereka sebagai wazir (pembantu) nabi-Nya, berperang demi membela agama-Nya. Maka, apa-apa yang dipandang oleh baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Dan apa-apa yang dipandang buruk oleh mereka pasti buruk di sisi-Nya.5

Kaum muslimin yang dimaksud oleh Abdullah bin Mas’ud dalam penuturan beliau di atas adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Imam Ahmad rahimahullah berkata,

Dasar-dasar As-Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan pedoman yang dipegang oleh para sahabat rasulullah dan mengikuti jejak mereka.6

Siapa saja setelah mereka yang mendapatkan keridhaan Allah maka sebabnya adalah mengikuti petunjuk mereka. Allah berfirman,

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. (QS. 9: 100).7

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu telah disebutkan penetapan generasi salaf ini sebagai standar dalam memahami nash (dalil -red. vbaitullah) yang mana tidak dibenarkan mengada-adakan paham lain di luar pemahaman mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka. Kemudian akan muncul satu kaum yang memberi persaksian sebelum dimintai sumpah atau bersumpah sebelum dimintai persaksiannya. 8

Dasar tersebut di atas juga didukung oleh bukti-bukti dan dalil-dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, di antaranya firman Allah,

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.
(QS. 4: 115).

Bentuk pengambilan dalil dari ayat di atas adalah penyertaan antara
menjauhi jalan kaum muslimin dengan penentangan terhadap rasul, bahwasanya kedua hal itu mendapat ancaman yang sangat keras. Padahal, penentangan terhadap rasul saja sebenarnya sudah cukup mendapatkan ancaman. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

Sesungguhnya orang-orang kafir dan yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta memusuhi rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka. (QS. 47: 32).9

Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Lahyin dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia pernahberkhutbah di hadapan kami lalu berkata, “Ketahuilah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami dan bersabda,



Ketahuilah bahwa Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan bahwa umat ini juga akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh puluh dua di antaranya masuk neraka dan satu golongan di dalam surga, yakni al-Jama’ah.10

Fokus dalil tersebut terletak pada penyebutan kriteria Firqoh Najiyah (golongan yang selamat) dengan al-Jama’ah. Dan tidak menyebutkan orientasinya kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, padahal golongan ini sama sekali tidak dapat terlepas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hikmah yang tembunyi di balik itu adalah sinyalemen kepada al-Jama’ah yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah kemudian mengamalkannya menurut yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, dan pada saat itu11 tidak ada jama’ah kecuali sahabat nabi.


Oleh sebab itulah para ulama men-shahih-kan sebuah lafal yang diriwayatkan dari jalur lain oleh al-Hakim dan lainnya berkenaan dengan kriteria Firqah Najiyah

Pedoman yang aku dan para sahabatku pada hari ini berada di atasnya.

Diantaranya juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan lainnya dengan sanad yang shahih dari al-’Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu (bahwasanya) ia berkata,


Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat yang sangat mengena hingga membuat air mata kami menetes dan hati kami bergetar. Salah seorang hadirin berkata, “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan, lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda, Saya wasiatkan agar kalian tetap bertakwa kepada Allah, selalu patuh dan taat meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi. Barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia pasti akan melihat perselisihan yang amat banyak. Maka dari itu, berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian (maksudnya peganglah sunnah itu erat-erat). Dan hati-hatilaah kalian dari perkara yang diada-adakan. Karena seluruh yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu pasti sesat.

Fokus dalil tersebut terletak pada penggabungan antara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sunnah Khulafaaur Rasyidin. Kemudian perhatikan bagaimana Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam menjadikan penuturan beliau tersebut sebagai wasiat bagi umatnya. Hingga para pembacaaa dapat mengetahui kebenaran asas-asas manhaj salafus shalih ini.

Kemudian coba perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan meredam perselisihan dengan berpegang teguh dengan manhaj ini. Agar pembaca sekalian dapat mengetahui bahwa kaidah “menurut pemahaman salafus shalih“ merupakan pelampung penyelamat dari perpecahan. Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata,

Sebagaimana anda lihat sendiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyertakan sunnah Khulafaaur Rasyidin dengan sunnah beliau.

Bahwa termasuk mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka. Sebaliknya, perkara yang diada-adakan merupakan hal yang berseberangan dengan itu dan sama sekali bukan termasuk sunnah. Sebabnya, para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menetapkan sebuah sunnah selalu mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah nabi secara global maupun terperinci yang mungkin saja pemahaman itu tersamar atas selain mereka, (jadi penyertaan sunnah mereka -red vbaitullah) bukan merupakan tambahan atas sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 12

Sengaja saya bawakan nash-nash (dalil-dalil -red. vbaitullah) tersebut sebagai dalil kaidah yang sedang kita bicarakan. Saya lihat Ibnu Abil ‘Izz juga membawakan dalil tersebut ketika mensyarah (menjelaskan) ucapan Umam Ath-Thahawi,


Kita harus mengikuti sunnah dan al-jama’ah dan harus menjauhkan diri dari penyimpangan, perselisihan dan perpecahan.13


Catatan Kaki



…1 Bagian ini disalin dari buku “Pandangan Tajam Terhadap
Politik” hal. 12-24, pustaka Imam Bukhari (cetakan pertama)
yang merupakan terjemahan dari kitab “Madarikun Nazhar
fis Siyasah Bainath Thabbiqaat Asy-Syar’iyah wal Ihfi’aalat Al-Hamaasiyah” karangan Syaikh Abdul Malik Ramdhan Al-Jazairi. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari.

…2 Madarijus Salikin (I/13).

…3 Ibid (I/72-73). Tafsir di atas telah diriwayatkan secara shahih dari Abul Aliyah dan al-Hasan al-Bashri. Ibnu Hibban menyebutkan sanadnya secara maushul dalam kitab As-Sunnah (27), Ibnu Jarir dalam tafsir-nya (184), Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya (I/21-22), al-Hakim dalam Mustadrak (II/259) dan dinyatakan shahih olehnya serta disetujui oleh aAdz-Dzahabi. Silahkan lihat juga dalam kitab “Al-Imamah war Radd ‘Alar Rafidhah” karangan Abu Nu’aim (73). Tafsir senada dengan itu diriwayatkan juga dari Abullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

…4 Diriwayatkan juga perkataan yang senada dengan penuturan di atas oleh Ibnu Abdil Bar dalam “Jami’ al-Bayan” (II/97),
Abu Nu’aim dalam “Al-Hilyah” dari Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhu (I/305).

…5 HR. Ahmad dan lainnya. Riwayat ini derajatnya hasan.

…6 “Syarah Ushulul I’tiqad Ahlus Sunnah” karangan
al-Laalikaa’i no. 317 dan Al-Aajurrii dalam “Asy-Syari’ah”
hal. 14.

…7 Silahkan lihat uraian Imam Malik berkenaan dengan ayat ini dalam kitab “I’lamul Muwaqqi’iin” karangan ibnul Qayyim
(IV/94-95).

…8 Bagi yang masih ragu terhadap bilangan kurun yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, silahkan merujuk kitab “Silsilah
Hadits Shahih” karangan Al-Albani (no. 700).

…9 Silahkan lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(XIX/194).

…10 HR. Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih.

…11 yakni, pada saat ayat itu turun -red. vbaitullah

…12 Al-I’thisham (I/104).

…13 Syarah Aqidah Thahawiyah, hal. 382-383, cetakan Maktab Islami.