Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al
I’tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”. (Qs. Al Baqarah:187)
Disertai hadist-hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq.
Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber-i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya).
Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah).
Syarat-syaratnya
1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan janganlah kalian melakukan jima’ dengan mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid” (Qs. Al Baqarah: 187)
Imam Bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar: “Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). [“dan jangan kalian melakukan jima...” yakni “Jangan berjima’ dengan mereka “ ibnu Abbas mengatakan semuanya berarti jima’, akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. (Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.)
Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa.” (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud)
2. Dan hendaklah pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang lalu dalam sebuah riwayat. (“…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami'”.). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)”.
Yang dibolehkan untuk orang yang berI’tikaf
a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat : “Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan I’tikaf.” (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya)
b. Dibolehkan untuk seorang yang I’tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih).
c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam [Disebut “Khiba” salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3.”Nihayah”.] Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah (semacam payung –pent) kecil [yaitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. “Suddah” artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang.
Sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan: “supaya pikiran orang yang beri’tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari I’tikaf itu”.
Sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim: “Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beri’tika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar].
Dibolehkannya Wanita beri’tikaf dan menengok suaminya di masjid
a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I’tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu ‘anha: “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku.
Shafiyah radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usamah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan: “Subhanallah! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorang seperti mengalirnya darah. Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Ummu Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. (HR. Bukhari)
‘Aisyah juga mengatakan: “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. (HR. Bukhari Muslim dan selain keduanya)
Saya katakan: “Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan: “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)”.
Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah:
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’ batal I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih).
Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu.”
Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya.
(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “I’tikaf”, Hal : 72 - 84 , Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)
Ibadah malam Lailatul Qadr
Lailatul Qadr (atau lebih dikenal dengan malam Lailatul Qadar) mempunyai keutamaan yang sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur`anul Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti Sunnah Rasulnya berlomba-lomba untuk beribadah di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah subhaanahu wa ta'ala.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Lailatul Qadr
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadr dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Qs. Al Qadr: 1-5)
2. Waktunya
Pendapat yang paling kuat, terjadinya Lailatul Qadr itu pada malam di akhir-akhir bulan Ramadhan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 'A`isyah, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda:
"Carilah Lailatul Qadr di malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan." (HR. Bukhariy no.2017 dan Muslim no.1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Umar, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Carilah di sepuluh hari terakhir, jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya." (HR. Muslim no.1165)
Telah diketahui dalam Sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari 'Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada Lailatul Qadr, lalu ada dua orang shahabat berdebat, maka beliau bersabda:
"Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr, tetapi fulan dan fulan berdebat hingga diangkat (tidak bisa lagi diketahui kapan kepastian lailatul qadr terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27 dan 25." (HR. Al-Bukhariy 2023)
Banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, hadits yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedangkan hadits kedua sifatnya khusus, maka riwayat yang khusus lebih didahulukan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa Lailatul Qadr itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan (malam ke-25, 27 dan 29), tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah. Maka dengan penjelasan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut dan tidak saling bertentangan.
3. Bagaimana Mencari Lailatul Qadr?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin agar bersemangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadr seperti melakukan shalat tarawih, membaca Al-Qur`an, menghafalnya dan memahaminya serta amalan yang lainnya, yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar. Jika dia telah berbuat demikian maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa shalat malam/tarawih (bertepatan) pada malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhariy 38 dan Muslim no.760)
Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Diriwayatkan dari 'A`isyah, dia berkata: Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan Lailatul Qadr (terjadi), apa yang harus aku ucapkan? Beliau menjawab: "Ucapkanlah:
"Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku." (HR. At-Tirmidziy 3760 dan Ibnu Majah 3850, sanadnya shahih)
Saudaraku, setelah engkau mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadr (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari 'A`isyah berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya (yaitu menjauhi istri-istrinya untuk konsentrasi beribadah dan mencari Lailatul Qadr)." (HR. Bukhariy no.2024 dan Muslim no.1174)
4. Tanda-tandanya
Dari Ubaiy, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Pagi hari malam Lailatul Qadr, matahari terbit tidak ada sinar yang menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR. Muslim no.762)
Dan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Malam Lailatul Qadr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, dan keesokan harinya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR. Ath-Thayalisiy 349, Ibnu Khuzaimah 3/231 dan Al-Bazzar 1/486, sanadnya hasan)
(Sumber Bacaan: Shifat Shaumin Nabi; Taisiirul 'Allaam; Ad-Durarul Bahiyyah; Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahiih Muslim. Dikutip dari Buletin Al Wala wal Bara, judul asli Lailatul Qadr dan Zakat Fithri, Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H, url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/49.htm)