Saturday, February 28, 2015

10 Kiat Menggapai Istiqomah (Bagian 3)

10 Kiat Menggapai Istiqomah (Bagian 3)


Sahabat seakidah, pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Telah berlalu dua kiat untuk menggapai istiqomah, yaitu: [1] Istiqomah adalah anugerah dari Allāh, dan [2]Hakikat istiqomah adalah meniti jalan yang lurus; yaitu jalan tauhid dan ketaatan dengan berpegang teguh dengan al-Qur`ān dan Sunnah Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Orang yang istiqamah adalah orang yang memadukan antara ilmu dan amalan, antara ibadah batin dengan ibadah lahiriyah.Segala puji bagi Allāh. Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi kita Muḥammad, para sahabatnya, dan pengikut-pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Pada kesempatan ini, kami akan melanjutkan pada kiat berikutnya:
Kiat Ketiga:
Pokok Istiqomah Adalah Keistiqomahan Hati
Saudaraku -semoga Allāh membimbing kita di atas ketaatan kepada-Nya- sahabat Anas bin Malik raḍiyallāhu’anhu meriwayatkan, bahwa Nabi ṣallallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak akan istiqomah iman seorang hamba hingga istiqomah hatinya.” (HR. Aḥmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam aṣ-Ṣaḥīḥah [2841])
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr ḥafiẓahullāh berkata,
“Maka, pokok keistiqomahan adalah keistiqomahan hati. Apabila hati itu baik dan istiqamah niscaya badan pun akan mengikutinya.” (lihat ‘Asyara Qawā`id fil Istiqamah, hal. 15)
Imam Ibnu Rajab raḥimahullāh berkata,
“Pokok keistiqomahan adalah keistiqomahan hati di atas nilai-nilai tauhid. Hal itu sebagaimana penafsiran Abu Bakar ash-Shiddiq dan para ulama lainnya tentang makna firman Allāh (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami adalah Allāh, kemudian mereka istiqomah.” Maksdunya -kata beliau- adalah mereka tidak berpaling kepada -pujaan/sesembahan- selain-Nya.” (lihat ‘Asyara Qawā`id fil Istiqamah, hal. 15)
Dari an-Nu’man bin Basyir raḍiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣallallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah! Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia sehat maka sehatlah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak/sakit maka sakitlah seluruh tubuh. Ketahuilah! Segumpak daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits yang agung ini, Rasulullāh ṣallallallāhu ‘alaihi wa sallam menggambarkan pentingnya kedudukan hati bagi amalan seperti halnya kedudukan jantung bagi anggota badan. Apabila jantung seseorang itu sehat niscaya sehatlah seluruh tubuh. Apabila ia sakit maka sakitlah seluruh tubuh. Demikian pula, apabila baik hati seseorang niscaya baik pula amalan anggota badannya.
Dan perlu kita ingat bahwasanya pada hari kiamat kelak, yang akan selamat di hadapan Allāh adalah orang-orang yang hatinya selamat dari kotoran syirik dan penyimpangan. Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Pada hari itu tidak akan berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allāh dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 88-89)
Oleh sebab itu, Nabi ṣallallallāhu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allāh,
“Allāhumma inni as`aluka qalban salīman; “Ya Allāh, aku memohon kepada-Mu hati yang selamat.” (HR. Ahmad dan Nasa’i, lihat ash-Shahihah: 2328)
Pentingnya Ibadah Hati
Yahya bin Mu’āż ar-Razi raḥimahullāh berkata,
“Jarak perjalanan di dunia ditembus dengan langkah kaki. Adapun jarak perjalanan menuju negeri akhirat ditembus dengan gerak-gerik hati.”
Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu’anhu, Rasulullāh ṣallallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allāh tidak melihat kepada rupa dan harta kalian. Akan tetapi yang Allāh perhatikan adalah hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim)
Abu Hurairah raḍiyallāhu’anhu berkata,
Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan adalah pasukannya. Apabila sang raja baik niscaya akan baik pasukannya. Akan tetapi, jika sang raja busuk maka busuk pula pasukannya.”
Abu Khuzaimah al-’Abid raḥimahullāh mengatakan,
“Perjalanan menuju Allāh yang dilandasi dengan ibadah hati itu lebih membekas daripada sekedar gerakan amal perbuatan semacam sholat, puasa, dan lain sebagainya.”
Ibnul Qoyyim raḥimahullāh menjelaskan,
“Barangsiapa yang mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara seorang mukmin dengan seorang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.”
Ibnul Qoyyim raḥimahullāh juga menegaskan,
“Amalan-amalan hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu, memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah raḥimahullāh pun memberikan penegasan tentang pentingnya amalan-amalan hati ini. Beliau mengatakan,
“Perkara ini termasuk pokok keimanan dan kaidah dasar dalam urusan agama. Seperti misalnya kecintaan kepada Allāh dan rasul-Nya, bertawakal kepada Allāh, mengikhlaskan agama (amal ketaatan) untuk Allāh, bersyukur kepada-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, dan merasa takut serta berharap kepada-Nya. Semua amal ini adalah perkara wajib atas seluruh manusia dengan kesepakatan para imam pemuka agama ini.”
Sufyan ats-Tsauri raḥimahullāh menceritakan,
“Adalah mereka -para ulama salaf- itu belajar untuk membersihkan niat dalam beramal sebagaimana mereka juga belajar tata-cara beramal.” Beliau juga pernah mengatakan, “Tidaklah aku memperbaiki sesuatu yang lebih sulit daripada niatku, karena ia sering berbolak-balik.”
Sufyan bin ‘Uyainah raḥimahullāh menceritakan:
Seorang ulama mengatakan, “Ada dua hal yang sejak tiga puluh tahun lalu aku berusaha untuk mengobatinya; agar tidak berambisi terhadap apa yang ada pada manusia serta mengikhlaskan amalan untuk Allāh ‘azza wa jalla.”
Demikian pembahasan yang bisa kami sampaikan pada kesempatan ini, semoga bisa menumbuhkan semangat bagi kita untuk berjuang menggapai istiqomah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allāh.
—-
* Referensi Tambahan:
  • Ta’ṭir al-Anfas min Aḥādiṡ al-Ikhlas, Dr. Sayyid bin Husain al-’Affani
  • ilustrasi gambar: http://ht.ly/egYxX 
artikel: www.pemudamuslim.com