Wednesday, January 2, 2019

Meneladani Shalat Rasulullah (1)

Meneladani Shalat Rasulullah (1)

Para pembaca rahimakumullah, menu kajian kali ini adalah sebuah tema penting yang terkait dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوُنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari no. 605, dari sahabat Malik bin al-Huwairits)

Hadits di atas merupakan landasan utama bagi umat Islam dalam meneladani ibadah shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam ibadah-ibadah yang lainnya, karena syarat diterimanya sebuah ibadah selain niat yang ikhlas juga harus sesuai contoh yang dibimbingkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. al-Bukharino. 2550 dan Muslim no. 1718, lafazh hadits diambil dari riwayat Muslim)

Sebagai contoh, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ada seseorang shalat di masjid yang saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalamnya. Seusai shalat, orang itu menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menyuruhnya untuk mengulangi kembali shalatnya. Lalu orang tersebut mengulangi shalatnya, ternyata disuruh kembali oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengulanginya, hingga peristiwa tersebut terulang tiga kali. Akhirnya orang tersebut meminta Nabi supaya diajarkan sifat shalat yang benar, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengajarinya. (Lihat Shahih al-Bukhari no. 793 dan Shahih Muslim no. 397)


Niat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amal itu tergantung dengan niat dan setiap orang hanyalah memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)

Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Niat adalah maksud.” Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang akan dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)

Bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal niat adalah tidak melafazhkannya. Tidak disebutkan dalam sebuah hadits shahih pun bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melafazhkan niat dalam shalat. Karena niat itu letaknya di dalam hati. Demikian pula yang diterapkan oleh para Khulafa’ur Rasyidin dan para sahabatnya. Tidak ada seorang pun dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melafazhkan niat.

Sementara kita maklumi bahwa kebaikan adalah mengikuti bimbingan Rasulullah dan as-Salafush Shalih. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka.

Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram termasuk rukun shalat, artinya bila ditinggalkan baik sengaja ataupun tidak, maka shalatnya tidak sah dan tidak cukup diganti dengan sujud sahwi. Akan tetapi dia harus mengulang kembali shalatnya.
Takbiratul ihram sebagai pembuka shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan mengucapkan, “Allahu Akbar”, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللهِ shallallahu ‘alaihi wa sallam يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan takbir.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat lain, dari sahabat Abu Humaid as-Sa’idi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ shallallahu ‘alaihi wa sallam إِذَا قَامَ إِلَى الصّلَاةِ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: اللهُ أَكْبَرُ
“Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk melaksanakan shalat, beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan, “Allahu Akbar.” (HR. Ibnu Majah no. 803 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)
Hadits di atas mengandung tiga kesimpulan penting,
Pertama,  shalat dibuka dengan takbir, Allahu akbar, tidak sah dengan lafazh lain.
Kedua, mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram.
Ketiga, lafazh takbir diucapkan dengan lisan dan tidak cukup dalam hati, kecuali orang yang bisu.
Takbir pembuka ini disebut dengan takbiratul ihram karena setelah mengucapkan takbir ini dilarang mengerjakan kegiatan selain amalan shalat, seperti makan, minum, bicara, dan lain-lain.

Suara Imam Lemah
Bila sang imam suaranya lemah, sehingga tidak terdengar oleh sebagian makmum, maka disyariatkan bagi muadzin atau selainnya dari kalangan makmum untuk menyambungnya dengan suara yang lebih keras sampai terdengar oleh seluruh makmum. Tujuannya agar seluruh makmum dapat mengikuti gerakan imam dengan sempurna. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh Abu Bakr ash-Shiddiqradhiyallahu ‘anhu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami dalam keadaan suara beliau lemah karena sakit. (Lihat Shahih Muslim hadits no. 413, dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Mengangkat Kedua Tangan dan Sifatnya
Disyariatkan mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram. Mengangkat kedua tangan boleh bersamaan dengan takbir, sebelum, atau sesudahnya. Jari jemari kedua tangan tegak lurus, tidak terlalu renggang dan tidak terlalu rapat. Mengangkat kedua tangan tersebut dengan posisi telapak tangan menghadap kiblat dan sejajar dengan bahu atau daun telinga. Semua sifat ini berdasarkan hadits-hadits yang shahih. (LihatShifat Shalat Nabi karya asy-Syaikh al-Albani)
Kemudian bersedekap,  meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Demikianlah contoh dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi-nabi yang sebelumnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُؤَخِّرَ سَحُوْرَناَ، وُنَعَجِّلَ فِطْرَنَا، وَأَنْ نُمْسِكَ بِأَيْمَانِنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فيِ صَلاَتِنَا
“Sesungguhnya kami, para Nabi, diperintah untuk mengakhirkan sahur dan menyegerakan ifthar (buka puasa), serta meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1770, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, dan terkadang di atas pergelangan tangan, serta di hasta. (HR. Abu Dawud, an-Nasaa’i, dan Ibnu Khuzaimah (1/54/2), dengan sanad yang shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan keduanya di atas dada (HR. Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimahdalam Shahih-nya (1/54/2).

Melihat ke Tempat Sujud
Seorang yang melaksanakan shalat hendaknya mengarahkan pandangannya ke tempat sujud dan dilarang mengarahkan pandangannya ke langit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ وَفِيْ رِوَايَةٍ: أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Sungguh, hendaknya suatu kaum menghentikan perbuatan mereka mengarahkan pandangannya ke langit ketika shalat atau pandangan mereka tidak akan kembali (jika tidak berhenti).” Dalam riwayat lain, … “atau akan dihilangkan/dibutakan pandangan mereka.” (HR. Muslim no. 428 dan 429, dari sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu)

Catatan: Seorang yang melaksanakan shalat tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri karena hal itu akan menghilangkan kekhusyukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada,

“Apabila kalian melaksanakan shalat, janganlah menoleh, karena sesungguhnya Allah menghadapkan Wajah-Nya ke wajah hamba-Nya di saat dia melaksanakan shalat selama ia tidak menoleh.” (HR. at-Tirmidzi no. 2863 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 1534)

Doa Istiftah
Waktu membaca doa istiftah adalah setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca surah al-Fatihah. Doa istiftah banyak ragamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa istiftah yang beragam dalam shalat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara doa yang biasa beliau baca adalah,
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنْ خَطَايَاىَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِى مِنْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَ الثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, es, dan embun.” (HR. al-Bukhari no. 711 dan Muslim no. 598, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Catatan: Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa istiftah yang beragam, maka disunnahkan pula bagi umatnya membaca doa-doa istiftah yang beragam tersebut. Boleh membaca doa istiftah sebagaimana disebutkan di atas atau doa istiftah yang lainnya, selama doa tersebut diriwayatkan secara shahih.

Membaca Ta’awudz
Setelah membaca doa istiftah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berta’awudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala, seperti lafazh ta’awudz yang sering kita baca, atau membaca ta’awwudz berikut ini,
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kapada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya dan syairnya.” (HR. Abu Dawud no. 775)

Membaca Basmalah
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca basmalah,
بِسْمِ اللهِ  الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
            Beliau membacanya dengan suara pelan (pada shalat jahriyah). (HR. al-Bukhari no. 710 dan Muslimno. 399)Namun menurut sebagian ulama, basmalah dibaca dengan jahr (keras).
Pembahasan masalah ini sebenarnya cukup panjang karena adanya perbedaan pendapat yang cukup kuat, sehingga tidak memungkinkan untuk dipaparkan di sini secara rinci. Wallahu a’lam.
Bersambung insya Allah…