Thursday, October 11, 2018

Bid'ah

Bid'ah
Pembagian bid’ah menjadi dua memang betul. Hal ini diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Hanya saja seperti yang sering kita katakan bahwa itu merupakan kesalahah pahaman.. Apalagi sampai dikatakan bahwa beliau melegalkan bid'ah hasanah. Jelas ini salah kaprah.



Para pembela bid'ah sering berdalih dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah :

ﺍَﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩَﺓٌ ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٌ, ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ
ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩٌ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻡٌ

"Bid’ah itu ada dua : Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.”
(Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah(9/113))

Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469), bahwa beliau rahimahullah berkata :

ﺍَﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕُ ﺿَﺮْﺑَﺎﻥِ : ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﺃَﻭْ ﺃَﺛَﺮًﺍ ﺃَﻭْ
ﺇِﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﺑِﺪْﻋَﺔُ ﺍﻟﻀَّﻼَﻝِ, ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻻَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٍ

"Perkara yang baru ada dua bentuk : (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela"

Perkataan Imam Syafi'i ini bisa dijelaskan dari bbrp sisi :

1. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- dalam ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 121 mengomentari kedua perkataan Asy-Syafi’i di atas :

“Didalam sanad-sanadnya terdapat rawi-rawi yang majhul (tidak diketahui)”.

Hal ini karena di dalam sanad Abu Nu’aim terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Athasi. Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab menyebutkan biografi orang ini dan keduanya tidak menyebutkan adanya pujian ataupun kritikan terhadapnya sehingga dia dihukumi sebagai rawi yang majhul.

Adapun dalam sanad Al-Baihaqi, ada Muhammad bin Musa bin Al-Fadhl yang tidak didapati biografinya. (Syaikh Salim Al-Hilali dalam Al-Bida’wa Atsaruhas Sayyi` alal Ummah hal. 63.)

2. Anggap saja ucapan di atas shahih (benar) datangnya dari Imam Asy-Syafi’i :

Maka maksud dari perkataan beliau -rahimahullah- [“bid’ah yang terpuji”] adalah bid’ah secara bahasa bukan menurut syar’i.. Karena beliau memberikan definisi bid’ah yang terpuji dengan perkataan beliau [“semua yang sesuai dengan sunnah”] dan [“apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut”]. Sedangkan semua bid’ah dalam syari’at adalah menyelisihi sunnah. [Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam (hal. 233)]

Dan hal ini lebih diperkuat dengan contoh yang dibawakan oleh Imam Asy- Syafi’i -rahimahullah- untuk bid’ah yang terpuji -yang beliau maksudkan-, yakni seperti penulisan hadits dan shalat Tarwih.. Sedang kedua hal ini boleh digunakan padanya kata ‘bid’ah’, tapi bid’ah menurut bahasa karena belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi.. Kalau dikatakan “bid’ah” menurut syari’at, maka ini tidak benar karena kedua amalan ini memiliki asal dalam syari’at..

Hal ini semakin diperjelas oleh ibnu Katsiir ASY SYAAFI’IY rahimahullaah :

Bid’ah itu ada dua macam : Adakalanya (pelafalan) bid’ah itu (diinginkan) secara makna syar’iatnya.. Sebagaimana sabda Rasulullahshall allahu’alaihi wa sallam: “Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat."

Dan adakalanya bid’ah itu secara bahasa. Sebagaimana perkataan ‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’an hu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).”
(HR. Bukhari)

(Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Al Baqarah: 117)

3. Tidak mungkin beliau menginginkan dengan perkataan beliau ini akan bolehnya atau adanya bid’ah hasanah..

Karena : beliau sendiri yang telah berkata, [“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”].

4. Sekali lagi.. Anggaplah ketiga jawaban sebelumnya tidak bisa diterima.. Maka perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ini tetap tidak boleh diterima untuk melegalkan bid'ah hasanah.

Karena :

Menyelisihi hadits-hadits yang telah berlalu penyebutannya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa semua bid’ah -tanpa sedikitpun perkecualian- adalah sesat.

Apalagi Imam Asy-Syafi’i sendiri pernah berkata :

“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyalahi hadits Rasulullah-Shol lallahu alaihi wasallam-, maka berpendapatlah (sesuai) dengan hadits itu dan TINGGALKANLAH sesuatu yang aku katakan”
(Diriwayatkan oleh Al-Harawi dalam Dzammul Kalam (3/47/1)

Terahir...
Kalo para pecinta bid'ah tersebut memang mengklaim Imam Syafi'i telah melegalkan bid'ah hasanah, Maka kita minta tolong agar mereka menjelaskan ini :

Pernahkan Imam Syafi'i mengamalkan bid'ah...??
Pernahkah beliau tahlilan, yasinan, maulidan, ruwatan, tingkeban, dan perkara-perkara diada-adakan lainnya yang mereka sebut sebagai bid'ah hasanah.....??

Maka mereka pun akan terdiam...
Atau ngotot dan terus menerus berkilah…
Atau bahkan justru mengadakan kedustaan atas nama Asy syaafi’iy.

Dan tidakkah mereka tahu perkataan ASY SYAAFI’IY :

"Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) itu hanyalah menuruti selera hawa nafsu" [Ar-Risalah, hal. 507]

Juga perkataan beliau :

"Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (dalam agama, menurut pendapat / akalnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at (baru)" [al Mankhuul]

Maka mereka yang meng "hasanah" kan sebuah kesesatan.. Berarti mereka jelas-jelas seperti apa yang dicela imam syaafi’iy diatas, Yaitu : Hanyalah bersumber dari hawa nafsu, dan bahkan membuat syari’at baru.

Saudaraku, Janganlah kita menjadi orang-orang tercela, Yaitu orang yang mencintai dan membenarkan bid’ah, Sehingga menyelisihi sunnah.

Akan tetapi, Jadilah orang-orang yg terpuji dengan selalu menetapi sunnah dan menjauhi bid’ah..

Hanya pada Allah kita memohon taufik dan hidayah.