Friday, November 6, 2015

Hukum titip tandatangan absen


Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.
 

Soal : Kadangkala teman kuliah saya meminta bantuan saya saat pertemuan kuliah dilangsungkan untuk mencantumkan tanda kehadirannya (nitip absen)[1] padahal ia tidak hadir. Yaitu, ketika lembar kehadiran diedarkan, dan kemudian saya tulis namanya. Apakah hal ini termasuk bantuan yang bersifat kemanusiaan, ataukah termasuk kecurangan dan penipuan ?

Jawab : Itu memang bantuan,… tapi bantuan syaithaniyyah. Syaithan menyukai perbuatan ini yaitu mengabsenkan orang yang tidak hadir. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu diwaspadai :
Pertama, kebohongan/dusta; kedua, khianat terhadap penanggung jawab perkuliahan; ketiga, ia telah menjadikan orang yang tidak hadir ini mendapatkan tunjangan kehadiran yang dengan itu ia mengambil dan memakan tunjangan tersebut secara bathil. Salah satu saja dari ketiga hal ini telah cukup untuk menyatakan keharaman perbuatan tersebut dimana dhahir pertanyaan yang diajukan dipandang sebagai bagian dari perkara (bantuan) kemanusiaan.
Bantuan kemanusiaan tidaklah terpuji secara mutlak. Apa-apa yang sesuai dengan syari’at, maka itu terpuji; dan apa-apa yang menyelisihi syari’at, maka ia tercela. Pada hakekatnya, segala sesuatu yang menyelisihi syari’at dari apa-apa yang disebut sebagian orang sebagai perbuatan kemanusiaan, maka itu adalah penamaan yang bukan pada tempatnya. Segala sesuatu yang menyelisihi syari’at maka itu adalah perbuatan hewani. Karena itulah Allah menyifati perbuatan orang-orang kuffar dan musyrikin seperti perbuatan binatang; sebagaimana firman-Nya :
يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ
”Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” [QS. Muhammad : 12].
Dan juga firman-Nya :
إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِي
Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” [QS. Al-Furqaan : 44].
Maka, setiap hal yang menyelisihi syari’at adalah perbuatan hewani, bukan perbuatan manusiawi.[selesai]
[Fataawaa Islaamiyyah, oleh IbnuUtsaimin (4/329-340) – ditulis ulang oleh Abul-Jauzaapada tanggal 29 Muharram 1430 di Ciomas Permai, Bogor].