Wednesday, February 18, 2015

Tafsir QS. Ar Ra’d: 11

,
Tafsir QS. Ar Ra’d: 11
بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Allah Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ  
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jahm dari Ibrahim, ia berkata, “Allah mewahyukan kepada salah seorang Nabi dari para nabi Bani Israil, yang isinya, “Katakan kepada kaummu, “Sesungguhnya tidak ada penduduk suatu kampung dan penghuni suatu rumah yang sebelumnya berada di atas ketaatan kepada Allah, lalu beralih kepada maksiat, melainkan akan berubah keadaan yang sebelumnya mereka senangi kepada keadaan yang mereka benci.” Ia berkata, “Hal ini dibenarkan dalam kitabullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.“ (QS. Ar Ra’d: 11)
Komentar para mufassir
(1) Menurut As Samarqandiy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah, bahwa Allah tidak akan merubah kenikmatan yang ada pada suatu kaum yang Allah berikan kepada mereka, sampai mereka merubah, yakni merubah diri mereka dengan meninggalkan sikap syukur[1].
Al Faqih Abul Laits rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut terdapat peringatan kepada semua manusia agar mengenali nikmat yang Allah berikan kepada mereka dan mensyukurinya agar kenikmatan itu tidak hilang dari mereka.”
(2) Menurut Ibnu Abi Zamanain, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah apabila mengutus seorang rasul kepada suatu kaum, lalu mereka mendustakannya, maka Allah akan membinasakan mereka[2].
(3) Menurut Abu Bakr Al Jaza’iri, maksud firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah Allah tidak merubah keadaan suatu kaum yang sebelumnya berada dalam afiyah (keselamatan) dan nikmat kepada musibah dan azab, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Ia juga berkata tentang maksud ayat di atas, “Allah Ta’ala memberitahukan tentang salah satu sunnah (ketetapan) di antara sunnah-sunnah-Nya terhadap makhluk-Nya yang terus berlaku, yaitu, bahwa Dia tidaklah menyingkirkan nikmat yang Dia karuniakan kepada suatu kaum, baik berupa keselamatan, keamanan, maupun kelapangan yang disebabkan keimanan dan amal saleh mereka sampai mereka merubah keadaan mereka yang sebelumnya bersih kemudian dikotori oleh dosa dan tenggelam di dalam maksiat akibat berpaling dari kitab Allah, meremehkan syariat-Nya, menolak batasan-Nya, tenggelam dalam syahwat, dan menempuh jalan-jalan kesesatan.”
 (4) Menurut Al Wahidiy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Dia tidak akan mencabut kenikmatan yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengerjakan kemaksiatan kepada-Nya.
(5) Menurut As Sam’ani, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Dia tidak akan merubah sedikit pun nikmat yang diberikan kepada suatu kaum, sampai mereka merubah keadaan diri mereka dengan bermaksiat.
(6) Menurut Al Baghawi, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum yang berada dalam keselamatan dan kenikmatan, sampai mereka merubah keadaan diri mereka dari keadaan yang baik tersebut lalu berbuat maksiat kepada Tuhan mereka.
(7) Menurut Ibnu ‘Athiyyah, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah memberitahukan, Dia tidaklah merubah keadaan suatu kaum dengan menimpakan azab dan musibah sampai terjadi tindak kemaksiatan dari mereka dan mereka merubah ketaatan yang diperintahkan (dengan kemaksiatan).
(8) Menurut Ibnul Jauziy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan mencabut nikmat-nikmat-Nya dari mereka sampai mereka merubah keadaan diri mereka dengan mengerjakan kemaksiatan kepada-Nya.
(9) Menurut Ar Raziy, pendapat para mufassir menunjukkan, bahwa maksudnya, Allah tidak akan merubah keadaan mereka yang berada dalam kenikmatan dengan menggantinya menurunkan siksa, kecuali jika muncul dari mereka kemaksiatan dan kerusakan.
(10) Menurut Al Qurthubiy, tentang firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ bahwa Allah Ta’ala memberitahukan di ayat ini, bahwa Dia tidaklah merubah keadaan suatu kaum sampai mereka melakukan perubahan, baik dari kalangan mereka, pengawas mereka, atau dari salah seorang mereka karena suatu sebab, sebagaimana Allah merubah keadaan orang-orang yang kalah pada perang Uhud karena sebab sikap berubah yang dilakukan oleh para pemanah, dan contoh-contoh lainnya yang ada dalam syariat. Maksud ayat tersebut bukanlah berarti tidak ada siksa yang turun kepada seseorang kecuali setelah didahului oleh dosa, bahkan bisa saja musibah turun karena dosa yang lain sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Apakah kita akan binasa, sedangkan di tengah-tengah kita masih banyak orang yang saleh?” Beliau menjawab, “Ya, jika keburukan (kefasikan) banyak terjadi.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Zainab binti Jahsy, Shahihul Jami’ no. 7176), wallahu a’lam.
(11) Menurut An Nasafi, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak merubah keadaan suatu kaum yang sebelumnya berada dalam keselamatan dan kenikmatan sampai mereka merubah keadaan diri mereka dengan banyak melakukan kemaksiatan.
(12) Menurut Al Khazin, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum yang berada dalam keselamatan dan kenikmatan yang Dia berikan kepada mereka sampai mereka mereka merubah keadaan diri mereka dari yang keadaan sebelumnya baik, beralih kepada maksiat dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya, ketika itulah turun siksa-Nya kepada mereka.
(13) Menurut Asy Syaukani, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan mencabut nikmat yang Dia berikan kepada suatu kaum sampai mereka merubah keadaan diri mereka kepada kebaikan dan amal saleh atau kepada fitrah yang Allah ciptakan mereka di atasnya.
(14) Menurut Asy Syinqithi maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan mencabut nikmat yang Dia karuniakan kepada suatu kaum sampai mereka merubah ketaatan dan amal saleh yang mereka lakukan. Makna seperti ini juga dijelaskan di tempat yang lain dalam Al Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala, “(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Terj. QS. Al Anfaal: 53) dan firman Allah Ta’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Terj. QS. Asy Syuuraa: 30).
(15) Menurut Az Zuhailiy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak merubah keadaan yang ada pada suatu kaum berupa kenikmatan dan keselamatan, lalu Dia hilangkan hal itu dari mereka dan menghukum mereka kecuali karena mereka merubah diri mereka dengan melakukan kezaliman, kemaksiatan, kerusakan, mengerjakan keburukan dan dosa yang merobohkan bangunan masyarakat dan menghancurkan eksistensi umat. Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya manusia apabila melihat orang yang berbuat zalim, lalu mereka tidak mencegahnya, maka hampir saja Allah meratakan azab kepada mereka.”
Menurutnya juga, bahwa di ayat ini Allah Ta’ala menerangkan karunia-Nya dan keadilan-Nya, yaitu bahwa Dia tidak menyiksa tanpa adanya dosa sebelumnya. 
(16) Menurut As Sa’diy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan merubah keadaan yang ada pada suatu kaum, berupa kenikmatan, ihsan, dan kehidupan yang menyenangkan sampai mereka merubah keadaan diri mereka dengan berpindah dari keimanan kepada kekafiran, dari ketaatan kepada kemaksiatan, atau dari mensyukuri nikmat Allah kepada mengkufurinya, sehingga Allah mencabut kenikmatan itu dari mereka. Demikian pula, ketika manusia merubah keadaan diri mereka dari maksiat kepada ketaatan kepada Allah, maka Allah akan merubah keadaan mereka dari kesengsaraan kepada kebaikan, kesenangan, kegembiraan, dan rahmat.”
Kesimpulan QS. Ar Ra’d: 11
1.     Keadilan Allah Ta’ala, bahwa Dia tidak memberikan hukuman tanpa adanya dosa.
2.     Kemaksiatan merupakan penyebab dicabutnya nikmat sebagaimana ketaatan merupakan penyebab tetapnya nikmat.
3.     Musibah dan tercabutnya nikmat bisa saja terjadi karena tindakan kemaksiatan orang lain ketika orang yang mampu mengingkari malah membiarkan.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Tafsir Al Qur’anil Azhiim (Isma’il bin Katsir), Aisarut Tafasir (Abu Bakr Al Jaza’iriy), An Nukat wal ’Uyun (Abul Hasan Ali Al Mawardi), Bahrul Ulum (Abul Laits As Samarqandiy), Tafsir Al Qur’anil ’Aziz (Ibnu Abi Zamanain), Lathaa’iful Isyarat (Abdul Karim Al Qusyairiy), Al Wajiz fii Tafsiril Kitabil ’Aziz (Abul Hasan Al Wahidi), Tafsirul Qur’an (Abul Muzhaffar As Sam’ani), Ma’alimut Tanzil Fii Tafsiril Qur’an (Abu Muhammad Al Baghawi), Al Muharrar Al Wajiz fii Tafsiril Kitabil ’Aziz (Ibnu Athiyyah Al Andalusi), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan), Zaadul Masiir (Ibnul Jauziy), Mafaatihul Ghaib (Fakhruddin Ar Raaziy), Al Jaami’ Liahkamil Qur’an (Abu Abdillah Syamsuddin Al Qurthubi), Mausu’ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Liabhatsil Qur’ani was Sunnah), Madarikut Tanzil wa Haqaa’iqut Ta’wil (Abul Barakat An Nasafi), Lubabut ta’wil fii Ma’anit Tanzil (Alauddin Ali Al Khazin), Ad Durrul Mantsur fit tafsir bil Ma’tsur (jalaluddin As Suyuthi), Fathul Qadir (M. Ali Asy Syaukani), Adhwa’ul Bayan fii Idhahil Qur’ani bil Qur’an (Muhammad Al Amin Asy Syinqithi), At Tafsirul Munir fil ’Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj (Dr. Wahbah Az Zuhailiy), Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalaamil Mannan (Abdurrahman As Sa’diy), dll. 



[1] Dengan demikian, hal ini seperti pada kisah kaum Saba’ yang sebelumnya berada dalam kemakmuran dan kenikmatan, tetapi ketika mereka bersikap kufur, maka Allah ganti kenikmatan itu dengan musibah dan azab (lihat QS. Saba’: 15-21).
[2] Oleh karenanya, pada lanjutan ayat tersebut, Allah berfirman, “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum,” yakni azab. “Maka tidak ada yang dapat menolaknya;” yakni menolak azab itu selain Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Maka larilah kepada Allah (dengan kembali menaati-Nya). Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (Terj. QS. Adz Dzaariyat: 50) Digunakan kata “fafirru” (maka larilah kepada Allah) karena tidak ada jalan untuk meloloskan diri dari azab-Nya kecuali dengan kembali kepada-Nya.