Friday, February 6, 2015

Jangan Sampai Dibunuh Oleh Televisi


Written by Rizki Aji   

Seiring dengan majunya peradaban dunia dan dinamika kehidupan penduduk bumi yang cenderung vertikal, tak jarang menimbulkan banyak gejolak kehidupan sosial. Permasalahan sosial selalu timbul setiap saat dikarenakan sangat cepatnya arus globalisasi. Majunya dan berkembangnya peradaban dunia juga mempengaruhi alat pendukungnya yaitu tekhnologi. Dinegara dunia ketiga arus perkembangan tekhnologi selalu terjadi terus-menerus. Terlebih dinegara seperti Indonesia yang cenderung lebih konsumtif di bandingkan dengan negara yang telah maju sebelumnya, dari mulai perkembangan media massa berupa media cetak maupun media elektronik, juga mempengaruhi media individu seperti gadget elektronik terbaru semisal fasilitascontent dari sebuah handphone.

Tekhnologi pun juga sangat berpengaruh dalam proses perubahan sosial di masyarakat. Penyalahgunaan tekhnologi cenderung dapat ber-implikasi negatif  bagi proses keberlangsungan interaksi sosial di masyarakat bahkan dapat menjadi imbasnya dari arus tekhnologi walaupun peranannya ditekankan kepada perilaku perubahan individu.

Salah satu produk tekhnologi yang turut mendukung perubahan dan masalah sosial di masyarakat adalah televisi. Menurut Skomis dalam bukunya Television and Society; An Incuest and Agenda ( 1985 ), dibandingkan dengan media massa lainnya ( radio,  surat kabar, majalah, buku, dan sebagainya ). Televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Ia merupakan gabungan dari media dengar dan gambar. Bisa bersifat informatif, hiburan, maupun pendidikkan, bahkan gabungan dari ketiga unsur diatas. Dengan layar relatif kecil diletakkan di sudut ruangan rumah, televisi menciptakan suasana tertentu dimana pemirsanya duduk dengan santai tanpa kesengajaan untuk mengikutinya. Penyampaian isi atau pesan juga seolah-olah langsung antara komunikator ( pembawa acara, pembawa berita, artis ) dengan komunikan ( pemirsa ). Informasi yang disampaikan mudah dimengerti karena jelas terdengar secara audio dan terlihat jelas secara visual.[1]

Dengan didasarkan hal itu terbentuklah suatu proses imitasi di masyarakat secara mentah-mentah dan bulat-bulat. Hampir semua aspek yang keluar dan tayang di televisi dapat diperagakan dan ditiru secara langsung karena jelas bentuk peragaannya secara audio-visual, jadi jangan heran bila Indonesia rakyatnya sebagain besar dapat di dikte oleh televisi.

Dus, tak urung kehadiran televisi dan acara-acaranya mempengaruhi budaya, tataran normatif di masyarakat, hingga sistem sosial. Invasi acara yang dilakukan secara bebas tanpa tahapan penyeleksian danediting yang ketat bahkan dapat membuat hilangnya satu generasi. Lihatlah betapa dampak Jakarta-Sentris dimana Jakarta sebagai pusat pemerintahan menjadi contoh sentral provinsi lainnya untuk mengikuti segalanya seperti Jakarta, mulai dari life style, social interaction, bahkan instant culture Jakarta pun pindah kedaerah hampir di seluruh Indonesia.

Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya akan coba membahas tentang dampak televisi bagi kehidupan sosial di Indonesia dalam bahasan yang bersifat umum. Semoga upaya saya ini dapat membuahkan manfaat bagi diri saya sendiri maupun bagi yang membaca tulisan ini.

Televisi dan arus budaya

Tak diragukan lagi, bahwa sebenarnya tujuan diciptakan televisi memiliki banyak manfaat yang positif. Setidaknya seperti apa yang dikatakan oleh Drs. Wawan Kuswandi dimana dikatakakan bahwa tujuan dari media televisi seharusnya[2] ( hal ini dalam konteks luas, tetapi tak tertutup juga dalam konteks ke-indonesiaan -pent ) :
Sebagai alat informasi

Hiburan
Kontrol sosial
Penghubung wilayah secara geografis.
Mari kita lihat apakah tujuan dari media televisi sudah sesuai dengan apa yang diharapkan khususnya dengan porsi acara televisi di Indonesia yang disuguhkan oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, khususnya stasiun televisi swasta yang tumbuh menjamur baik coverage nasional maupun lokal.

Bila ia sebagai alat informasi tak jarang hanya lebih banyak diisi dengan berita infotainment[3], berapa banyak berita yang bersifat interaktif dan memperkaya wawasan seseorang justru tidak ditempatkan pada slot acara yang dikategorikan prime time, berarti hal ini secara tidak langsung menjadikan sisi hura-hura ( lepas dari hasrat para pemasang iklan ) lebih banyak diangkat di televisi dibandingkan dengan sisi yang seharusnya menjadikan rakyat Indonesia lebih merasakan dan sensitif terhadap permasalahan sosial di sekitarnya. Masyarakat lebih suka dan lebih peduli dengan siapa selebritis yang hari ini bercerai dibandingkan dengan kasus mengapa seorang ibu tega membunuh ketiga anaknya[4].

Bila sebagai hiburan, maka tak jauh hiburan yang disuguhkan lebih banyak kepada fokus acara sinetron ( sinema elektronik ). Adapun sinetron yang ada, sangat tak mewakili seluruh provinsi di Indonesia, yang ada hanya lingkup sentralistik Jakarta dan memukul rata seluruh provinsi di Indonesia. Lihatlah sinetron ‘remaja’ yang muncul belakangan telah menjadikan para remaja menjadi sosok-sosok yang hedonis dan egois. Lihat pula dengan trend ‘terkenal-instan’ yang telah menjadikan masyarakat Indonesia berharap menjadi masyarakat instant pula, lihat juga trend dengan sinetron yang katanya ‘religius’ dan mengingatkan orang akan mati menjadi latah di seluruh stasiun televisi swasta membuat sinetron ‘islami’ yang sama (dan kita sebagai orang Islam seharusnya malu karena disuguhkan dengan fenomena kuburan yang bisa meledak), dan sederetan hiburan yang tak jelas nilai pendidikkannya apalagi hubungan sosial yang ada di masyarakat Indonesia. 

Bila ia sebagai kontrol sosial, rasanya tujuan ini jauh dari harapan. Disebabkan televisi telah menjadikan masyarakat Indonesia individu-individu yang hedonis, kapitalis, bahkan egois. Televisi telah berhasil menempatkan posisinya di hati rakyat Indonesia sebagai guide life yang rasanya ‘kotak ajaib’ itu mesti ada di rumah-rumah keluarga Indonesia, bayangkan dari mulai rumah gedongan sampai bantaran sungai dan kolong jembatan, dari yang bermerek asli sampai imitasi, dari yang bergaransi sampai hasil mencuri, televisi sudah menjadi hajat hidup orang banyak. Lantas bagaimana mau menjadi kontrol sosial, yang ada justru malah menjadikan masyarakat Indonesia para social climber dalam memperlebar stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial di masyarakat Indonesia ketika melihat realita bahwa mengikuti televisi sudah menjadi kewajiban tersendiri. Jadi jangan harap televisi menjadi sebuah kontrol sosial, yang ada malah masalah sosial selama tayangan televisi yang ada  masih seperti ini.

Mungkin harapannya adalah fungsi televisi sebagai penghubung wilayah geografis, dalam hal ini khususnya Indonesia yang wilayahnya luas dan terbagi menjadi beribu-ribu pulau ( sampai banyak pulau yang belum diberi nama dan pulau yang hilang ketika pasirnya digerus negara tetangga ). Setidaknya televisi dapat menjadi bermanfaat dengan tayangan breaking news-nya baik ketika gempa dan tsunami di NAD, gempa dan tsunami di Yogyakarta, gempa dan tsunami di Pangandaran. Televisi menjadi sarana yang efektif dalam menayangkan berita tersebut dengan sangat cepat ( walaupun untuk mengatakan tepat sangat disangsikan, sebab seringkali informasinya meleset ). Termasuk juga dengan adanya beberapa stasiun televisi yang menayangkan program acara petualangan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia sehingga dapat memperkaya wawasan dan menjadikan masyarakat kota berkaca ( tapi itu dia kesemua acara tersebut tidak ditaruh pada slot prime time, jadi akhirnya masyarakat kota pun masih bisa berkaca dengan filem barat dan sinetron murahan ).

Terdapat suatu asumsi bahwa televisi memiliki dampak destruktif yang luar biasa, terlebih pada perusakan sistem budaya. Nilai dan norma budaya masyarakat Indonesia yang telah diwarisi secara turun-temurun dapat berubah 360 derajat dengan kehadiran sebuah ‘kotak ajaib’ di rumah-rumah penduduk Indonesia.

Gaya hidup western setidaknya telah memberikan warna tersendiri, atau justru bahkan mungkin lebih westernis dibandingkan dengan orang western[5] yang ketika ada trend baru sangat sayang untuk dilewatkan oleh generasi belakangan. Gaya hidup western dan instant pulalah yang menimbulkan masalah sosial baru dikalangan masyarakat, tumbuhnya generasi hedon baru yang individualistik dan pesimis dalam menatap hidup telah merebak menjadi trend tersendiri di Indonesia.

Betapa tidak, hampir seluruh wilayah di Indonesia berubah menjadi Jakarta. Penulis pernah berkesempatan ke suatu wilayah di Jawa Tengah dan mengunjungi sebuah pasar pakaian murah, dan alangkah kagetnya saya ketika melihat beberapa penjualnya telah menjadi ‘orang Jakarta’ yang berdialek Jawa. Gaya pakaian si-mba yang cukup full pressed body, rambut yang disisir ke pinggir di rebonding dan colouring, gaya bicara medoknya ketika mengucapkan lu-gue, hingga interaksi dengan teman yang lain benar-benar Jakarta. Kalau tetap seperti ini mungkin budaya lokal dan tradisi adat yang asli akan pudar dan luntur digerus oleh televisi.

Televisi dibawah hegemoni global

Kekuatan media televisi dalam mempengaruhi proses sosial di masyarakat tak lepas dari kekuatan tunggal yang menjadi denyut nadi stasiun televisi. Yaitu proses pendanaan keberlangsungan stasiun televisi swasta yang tak mendapatkan subsidi pemerintah.[6]

Terlepas dari itu semua, hegemoni kapitalisme dalam memainkan potensi media sebagai “alat penjajah” gaya baru. Lewat ‘kotak ajaib’ tersebut terdapat banyak indikasi-indikasi brainstroming yang dilakukan oleh western[7] sebagai pemain utama dalam meng-ekspor budayanya ke negara-negara yang sedang berkembang[8] agar menjadikan sistem demokrasi-kapitalis yang hegemonial di dunia lebih memiliki banyak pengikut pola tersebut.
Sebagai sebuah fasilitator, sistem komunikasi ( terlebih komunikasi media elektronik ) memiliki kekuatan yang sangat besar. Sistem ini juga bisa membuat alat fasilitator lain menjadi lebih kuat. Kemampuannya menyebarkan pesan ke banyak orang di berbagai tempat sekaligus, menjadikannya sebagai sumber kekuatan, terlepas dari informasi atau gagasan apa yang disebarkannya. Karena itu banyak pihak yang berusaha memanfaatkannya[9]. Sehingga terbentuk suatu jargon “ siapa yang menguasai media maka menguasai dunia “[10]. Dan tepatlah bahwa barat-lah saat ini pemain utama yang telah berhasil (setidaknya sampai saat ini) memanfaatkan media dan sekaligus menjadi penguasanya.

Sehingga dengan bebas dan serta-merta barat telah menancapkan kukunya dengan kokoh dihampir pelosok negara ( baik negara dunia kedua, maupun negara dunia ketiga ). Setidaknya western telah hampir sukses menyeragamkan kultur budaya dan pola interaksi sosial di masyarakat.

Tentang hal ini, Piotr Sztompka memberikan komentar bahwa dalam periode belakangan ini unifikasi dan homogenisasi kultur pada skala global umumnya ditampilkan melalui media massa terutama melalui televisi. “ imperialisme media “ makin lama mengubah dunia menjadi ‘ dusun global ‘ dimana lingkup pengalaman kultural dan produknya pada dasarnya adalah sama. Pengaruh serupa ditimbulkan oleh kenaikan arus wisatawan yang menyebarkan pola kultur masyarakat indutri barat tempat mereka berasal.[11]

Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton juga melihat media dapat menghaluskan paksaan sehingga tampak sebagai bujukan. Mereka mengatakan “ kelompok-kelompok kuat kian mengandalkan teknik manipulasi melalui media untuk mencapai apa yang diinginkannya, termasuk agar mereka bisa mengontrol lebih halus “. Bahkan penguasa di masyarakat totaliter seperti di Uni Soviet dan RRC, juga telah menempuh cara ini guna menggantikan cara-cara lama seperti teror dalam mengendalikan masyarakatnya.[12]

Efek buruk televisi terhadap masyarakat

Seperti yang sebelumnya kita ketahui televisi merupakan alat komunikasi media publik yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum, dibandingkan dengan radio, surat kabar, maupun majalah. Tetapi, seperti yang telah diutarakan sebelumnya acara dalam sebuah “ kotak ajaib “ tersebut sangatlah bersifat destruktif saat ini, setidaknya lebih banyak mengandung unsur eksploitasi dibandingkan dengan sisi eksplorasi. Sebab acara yang ada bukanlah menumbuhkan kreativitas dan mengembangkan wawasan keilmuan melainkan membuat masyarakat stagnan dan cenderung jalan di tempat.

Mekanisme kerja televisi tidak memberikan kemungkinan munculnya kedalaman. Tidak ada psikolog, sosiolog, apalagi antropolog di dalam suatu tayangan acara televisi saat ini sebagai konsultan. Bahkan untuk editor bahasa pun tidak ada. Menonton televisi adalah sebuah kegiatan yang cenderung bersifat conversational, friendly, emotional and not demanding. Untuk itulah, pada beberapa Negara yang relatif lebih maju dibandingkan dengan Indonesia ( yang media televisi beroperasi di wilayah tanpa aturan, tanpa sanksi ) terdapat aturan etik yang ketat. Pihak pemerintah memiliki UU yang diterapkan di negara tersebut sangat ketat dalam mengawasi pengoperasian media televisi.[13]

Berbeda dengan Indonesia dimana sampai saat ini pembentukan lembaga KPI ( Komisi Penyaiaran Indonesia ) jalan ditempat bahkan dibawah bayang-bayang Menkominfo ( Menteri Komunikasi dan Informatika ) dan pihak asosiasi televisi swasta. Padahal seharusnya KPI merupakan badan yang memiliki otoritas khusus dan legal dari pemerintah. Tetapi yang terjadi saat ini setiap kali KPI mengeluarkan peraturan tentang penyiaran selalu mentah ditengah jalan dan tidak terealisasi secara paripurna.

Dan realita yang terjadi sangat jelas saat ini dimana stasiun-stasiun televisi swasta yang ada saat ini lebih mengedepankan hasrat libido pemasang iklan. Jadi tolak ukur kualitas acara menjadikannya bahwa acara tersebut banyak iklannya. Dibandingkan dengan mengedepankan kualitas acara sesungguhnya dan untuk siapa segmentasinya. Sehingga dengan serampangan stasiun televisi swasta menjadikan rating acara untuk menggaet iklan sebanyak-banykanya yang dihasilkan dari audiens share ( jumlah pemirsa ) rata-rata dan relatif  yang biasanya dilakukan oleh lembaga survey tertentu.

Teror media televisi belakangan ini lebih didasari pada tindakan-tindakan eksploitatif. Stasiun televisi swasta mengeksploitasi rakyat dan kemudian mendikte-kannya kembali. Setidaknya betapa tidak dapat dikatakan penggunan bintang iklan wanita hampir mencapai 90 % ada di setiap iklan ( dalam artian hampir tak ada iklan yang didalamnya tidak menggunakan model wanita, melainkan pasti ada bintang iklan wanitanya ), hatta didalam iklan rokok sekalipun hingga ( maaf ) celana dalam pria. Apakah ini eksploitasi atau justru memang hakikat dari equality gender ??
Secara teoritis dampak acara televisi dibagi menjadi tiga :[14]
Dampak kognitif, yaitu kemampuan seseorang atau pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Contoh : acara kuis di televisi yang mendidik, Who Wants To be Millionaire, Siapa Berani, dll.
Dampak imitasi ( peniruan ), pemirsa dihadapkan pada trendi aktual yang ditayangkan televisa. Contoh : style artis di televisi, semisal Rumah Idaman, My Style, Paranoia, dll.
Dampak behavior ( perilaku ) yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan pemirsa sehari-hari. Contoh : Sinetron Dai Cilik, dll.
Penjelasan diatas merupakan sebuah teori yang saat ini masih perlu diuji kembali. Adapun dibawah ini beberapa efek buruk negatif segmentasi secara fakta yang paling besar menerima dampaknya dari tayangan acara televisi yang ada belakangan ini.
1.      Anak-anak
Anak-anak merupakan salah satu sasaran empuk bagi program tayangan televisi yang ada saat ini. Setidaknya program tayangan televisi telah menjadikan anak-anak kelinci percobaan yang paling baik bagi para pemasang iklan. Mengapa demikian ? budaya konsumtif masyarakat Indonesia telah ditularkan hingga ke anak-anak, bayangkan untuk suatu iklan es-krim yang menggugah selera telah menanamkan dihati anak-anak ingin memilikinya dan membelinya lantas merayu ayahnya untuk membelikannya, bila tidak ia akan menangis atau mungkin ngambek ( atau bisa juga bunuh diri ). Bayangkan pula bila semua tayangan iklan yang diputar ingin dimilikinya.
Berikutnya tayangan acaranya, saat ini mungkin yang sedang ngetrend di komunitas masyarakat pemukiman padat penduduk adalah salah satu acara wrestling entertainment semacam Smack Down, WCW,RAW, dan berbagai judul lainnya[15].  Anak-anak rela menonton hingga pukul 11.00 malam (walaupun telah diluar slot prime time), setelah itu disekolah mereka bukan fokus untuk belajar melainkan sibuk menceritakan bagaimana tadi malam King Booker mengalahkan Finlay, atau memperagakan kepada teman-teman yang lain gaya bantingan dari Triple H dkk.

Sungguh sangat memprihatinkan bukan? Bukannya tayangan yang memacu kreatifitas, kognitif, dan psikomotorik justru malah tayangan yang mengajarkan kekerasan jadi jangan heran bila besarnya nanti melakukan tindakan anarkisme. Bulan April 1997, YKAI ( Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia ) mengumumkan hasil penelitiannya yang cukup mengagetkan. Menurut lembaga yang concern dengan dunia anak tersebut, lebih dari separuh film anak-anak mengandung adegan-adegan anti sosial dan menjurus kepada kekerasan. Karena itu, para pendidik dan tokoh agama banyak mengirimkan protes kepada beberapa stasiun televisi, karena acara-acara yang ditayangkan sudah menyimpang dari etika dan bahkan tidak mendidik.[16]

2.      Remaja
Membicarakan dampak televisi bagi kalangan ini sungguh bagaikan menuliskan diatas air, karena trend bagi segmentasi ini selalu berubah hampir setiap bulan. Ketika belum lama gaya rambut seperti bintang Taiwan keluar semua berbondong-bondong mengikutinya, ketika belakangan muncul model Mohawk-Punk semua barbershop ikut kebanjiran order, belakangan lagi trend Mohawk plus Mulletdengan sampingnya di Skin ikut merebak hingga kalangan anak SMP kelas 2. bagaimana dengan wanitanya? Ketika muncul gaya rambut Shaggy semua iku bergaya Shaggy, ketika muncul gaya Ladies Punk -Long Feathercut- ( gurita ) semua ikut gaya ini, ketika sedang trend jeans hot pants seperti bermuda, kapri, maupun boxer, otomatis ikut juga, hingga yang terakhir kali sekarang ini ( update terbaru ) model pakaian baby doll. Ampun DJ !!!![17]

Jadilah pantas mengatakan kalangan remaja sebagai kalangan yang paling parah mendapatkan dampak dari tayangan televisi yang tak mendidik. Mungkin ketika jamannya Sophan Sofyan dan Widyawati istilah free sex merupakan sesuatu yang tabu, tapi saat ini secara perkembangan trend sudah maju free sex merupakan sesuatu yang mesti ada dalam suatu hubungan pria dan wanita. Karena dampak apa ? mari bersama-sama kita jawab dengan nada yang panjang : sinetroooooooon.....

Ketika dulu film yang pernah tayang ditelevisi dengan bermuatan pornografis ditempatkan di jam malam, namun saat ini acara yang serupa namun dengan setting-an berbeda semacam film virgin dan sinetron lainnya dapat tayang di slot prime time, walaupun sinetron malam yang agak menjurus kepada pornografi diputar di jam malam diatas jam 23.00 tapi yang heran mengapa setting sosialnya disorot latar masyarakat menengah kebawah[18]. Setidaknya hampir setiap sinetron saat ini ada adegan yang menjurus kepada seks bebas dan pelecehan seksual.

3.      Ibu rumah tangga
Berbicara tentang sejauh mana dampak televisi bagi ibu rumah tangga, pastilah berbicara betapa segmentasi ini merupakan sasaran yang paling banyak menjadi korban iklan. Para ibu biasanya menjadikan televisi sebagai acuan dalam suatu permasalahan, terlebih para ibu biasanya hanya mendapatkan dan memperkaya wawasannya dengan menonton televisi saja yang dapat dilakukan ketika sambil memasak, menyetrika pakaian, hingga bersih-bersih rumah. Dan juga para ibu paling rajin memberikan komentar terhadap suatu tayangan televisi hingga mengalahkan sutradaranya bahkan tahu ending dari suatu sinetron. Untuk infotainment biasanya para ibu lebih sering mengkonfirmasikan dengan para tetangganya ketika berbelanja sayuran didepan rumah sambil iseng mengucapkan “ sayang banget Artis itu mau cerai dengan suaminya... padahalkan usia pernikahannya sudah lama....sampai... udah tua-tua aja pada cerai kayak pasti masih laku aja...” dan seterusnya.

Dalam struktur masyarakat yang bertumpu pada ibu sebagai pemegang kunci perekonomian suatu rumah tangga, bukanlah tak mudah bagi para pemasang iklan untuk mengerucutkan sasarannya terlebih di program acara yang ditayangkan paling banyak ditonton oleh para ibu semacam gossip, sinetron, dan info-info masalah domestik ( tata boga, tata dekorasi, tata busana, hingga tata perabotan dan acara yang berbau menata lainnya, sayangnya tak ada tata negara ). Para ibu biasanya menjadi insan-insan yang latah tentang suatu produk yang hampir sama dengan anak-anak tapi bedanya para ibu bisa membaca, anak-anak tidak. Kalau sudah begini apakah tidak dapat dikatakan sebagai masalah sosial ?? dimana para ibu dididik juga oleh mentornya (televisi) menjadi manusia yang konsumtif dan latah.

4.   Dampak secara umum
Sebenarnya masih banyak dampak negatif yang disebabkan oleh ‘kotak ajaib’ seperti kasus latah pada stasiun televisi yang saling nyontek. Ketika telah ada tayangan yang melonjak ratingnya dan disukai pemirsa langsunglah stasiun televisi lainnya ketularan untuk membuat acara televisi yang sama, seperti ketika genre sitkom sedang banyak diminati maka stasiun yang lain ikut, ketika genre misteri sedang diminati ikut juga stasiun televisi yang lain, dan genre tayangan lainnya seperti sinetron remaja, percintaan, drama kolosal, reality show, dll, pastilah akan diikuti oleh yang lainnya. Dengan demikian ini menjadikan kita dapat melihat bahwa miniatur masyarakat Indonesia saat ini didasarkan pada budaya ikut-ikutan dan tak lebih dari sekedar membebek. Masih ingat pulakan dengan bahasan sebelumnya yang mengungkit terkenal-instan, semacam idol-idolan, akademi khayalan (fantasi) Indonesia, kontes dangdut ( sampai dibuat filem yang berjudul Mendadak Dangdut, dan anak-anak sekarang mendapatkan kosakata negatif baru yaitu Jablay[19] ). Belum lagi sinetron misteri yang sampai dibuat reality show ( bayangkan !!) semisal pemburu hantu.[20]
Yang lebih parah lagi eksploitasi msyarakat menengah kebawah dengan berbagai macam reality show yang membuat mereka euforia sesaat. Betapa tidak acara semacam Uang Kaget, Rejeki Nomplok, Turis Dadakan, dan yang sejenisnya membuat masyarakat menengah kebawah terkesan hanya dijadikan komoditas iklan dan ambisi sesaat production house  ( PH ) yang membuatnya, bayangkan diantara mereka yang melihatnya hanya terbuai dengan angan-angan sebagian kecil mereka yang mendapatkannya dengan pengandai-andaian yang berlebihan. Sebaiknya bila diniatkan untuk membantu berikanlah mereka modal untuk usaha bukannya disuruh menghabiskan uang yang sebegitu banyaknya untuk melampiaskan hasrat yang diberikan uangnya dengan waktu satu jam, lihat pula pemberi uangnya yang menggunakan pakaian layaknya bos atau western style, apakah ini tak dapat dikatakan sebagai kapitalis gaya baru ??

Secercah harapan dalam Sebuah solusi

Banyak para ahli yang telah mengupayakan dan memberikan catatan tentang bagaimana menangkal dampak arus budaya televisi yang cenderung pop dan superfisial. Tapi bagi saya tak ada penawar yang lebih baik selain Islam[21], Islam yang telah sempurna (kamil) telah mengatur segala sesuatu baik yang akan terjadi, yang terjadi, dan yang telah terjadi sebab itu semua tak terlepas dari kehendak Alloh.Poin pertama dalam membentengi diri akan bahaya televisi ini ialah membentengi diri sendiri dan keluarga dari bahayanya, sebagaimana ayat dalam Al Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(  QS. At Tahrim : 6 )

Poin kedua adalah sebaiknya para pengelola dan perencana acara televisi tetap harus konsekuen dan konsisten membuat paket acara dengan tujuan yang jelas dan pasti serta diiringi tanggung jawab moral dalam melihat kondisi dan situasi pemirsanya[22] dengan tidak hanya memuaskan ambisi dan libido pemasang iklan, dalam arti lain iklan bagi stasiun televisi swasta penting tapi jangan sampai tayangan acara yang ditampilkan lantas menghapus nilai norma dan budaya maupun moral yang ada di masyarakat. Poin ketiga adalah pemerintah seharusnya peka dan tanggung jawab dalam turut serta  menertibkan program acara yang tak mendidik dengan mengaktifkan dan memberikan wewenang yang tanpa kendala bagi KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia ) dalam melaksanakan tugasnya memantau proses penyiaran stasiun televisi swasta di Indonesia. Poin keempat, mengembalikan khittah televisi lokal disetiap provinsi sebagai aspek penuh wawasan dan pendidikan lokal bagi masyarakatnya. Terlihat solusi tersebut terkesan klise, tapi apabila dijalankan dan semua berjalan dengan maksimal insya Alloh akan terwujud.

Penutup

Televisi sebagai sarana komunikasi yang seharusnya sarat manfaat sangat tepat bila efektivitasnya memberikan manfaat yang kongkrit bagi kemajuan bangsa. Tetapi kenyataannya dampak teror dan destruktif televisi saat ini lebih banyak dibandingkan dengan sisi manfaatnya. Budaya pop, hedonisme, trend superfisial, kepanjangan ideologi kapitalis, dan berbagai toxic lainnya seakan telah melekat bagi pencitraan televisi saat ini ditengah masyarakat Indonesia. Betapa tidak dalam suasana kebangsaan yang penuh dengan keprihatinan, iklan yang ditampilkan adalah produk sepeda motor, mobil, hingga hand phone terbaru. Betapa hal tersebut menyebabkan jurang diferensiasi dan statifikasi sosial masyarakat Indonesia semakin dalam dan tak bertepi. Tumbuhnya masyarakat instant dan social climber di tengah rakyat Indonesia saat ini benar-benar tak dapat di-elakkan. Berbagai langkah dan solusi para ahli dalam mengantisipasi dampaknya telah dilakukan, tapi apa boleh dikata semua solusi tersebut seakan termentahkan dan menjadi klise bagaikan sebuah krikil kecil ditengah dominasi batu-batu cadas dan besar.



 
Daftar pustaka
Bali, Wahid Abdus Salam, Terdakwa Utama Menggugat Televisi ( alih bahasa oleh Ahmad Syaikhu, S.Ag ), Jakarta: Pustaka Darul Haq, September 2002.
Kuswandi, Wawan. Drs, Komunikasi Massa : sebuah analisis media televisi, Jakarta: PT. Rineka Eka Cipta, Maret 1996.
Rivers, William L, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern ( edisi kedua, alih bahasa Aris Munandar & Dudy Priatna), Jakarta: PT. Kencana, Desember 2003.
Sutiawan, Iwan, Menyibak ‘Budaya’ Latah Tayangan Televisi, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/02/0805.htm
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso), Jakarta: PT. Prenada Media, Juli 2005.
Wirodono, Sunardian., Matikan TV-Mu ; teror media televisi di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, Maret 2006.

footnote
[1] Televisi dan Masyarakat ( sebuah pengantar ), Drs. Rusdi Muchtar, MA. dalam Komunikasi Massa :   Sebuah Analisis Media Televisi, Drs. Wawan Kuswandi, hal. V.
[2] Drs. Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; sebuah analisis media televisi, hal. 99
[3]  Sebuah istilah baru, yang berarti kemasan acara gabungan antara Informasi dan Entertainment.
[4] Contoh kasus yang terjadi di Bandung beberapa bulan lalu, dimana seorang ibu membunuh ketiga anaknya hanya karena sang ibu beranggapan khawatir dengan masa depan anaknya. Padahal si-ibu adalah alumni salah satu perguruan tinggi negeri terkenal di Indonesia dan seorang muslimah yang berjilbab.
[5]  Betapa tidak, saya jadi teringat ada seorang pemusik yang siang-malam menggunkan kacamata hitam. Padahal orang western biasanya menggunakan kacamata hitam di siang hari saja itupun ketika panas yang sangat terik. Contoh lain trend rambut yang di bleaching dan colouring di kalangan anak muda sekarang khususnya para ABG, jika orang western rambut yang pirang ingin dihitamkan, orang Indonesia justru malah rambut hitam dipirangkan.
[6]  Hal ini untuk membedakan dengan TVRI, yang saat ini  menjadi televisi publik
[7]  Sebagai pemain utama saat ini, western merupakan kekuatan dunia baru setelah tumbangnya komunis-sosialis. Sehingga saat ini pula western pun sedang mencari musuh untuk melampiaskan hawa nafsunya dan panah itu kena kepada tubuh umat islam dengan dalih memerangi terrorisme.
[8]  Untuk mengatakan Negara lemah
[9]  William L. Rivers, dkk. Media Massa dan Masyarakat Modern, hal. 38
[10] Sunardian Wirodono,  Matikan TV-Mu, hal 104
[11] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, hal.109
[12] William L. Rivers, dkk. Loccit, hal. 39
[13] Sunardian Wirodono, Loccit, hal. 151
[14]  Drs Wawan Kuswandi. Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, hal. 100.
[15] Setidaknya inilah yang saya lihat seperti di daerah Tebet, Manggarai, sampai tempat kosan saya sekarang ini di belakang komplek dosen UIN Ciputat.
[16]  Wahid Abdusalam Bali,. Terdakwa Utama Menggugat Televisi ( pengantar penterjemah ), hal vi.
[17] Sebuah ungkapan terkejut dikalangan urban society khususnya para club hoopers yang sering turun menjadi crowd di clubbing place.
[18] Tak percaya, silakan lihat di Lativi hampir setiap malam diputar sinetron pornografi yang bersetting sosial menengah kebawah.
[19] Tentang kosakata ini saya sempat bertanya kepada adik saya apa yang dimaksud dengan Jablay, lalu dijawabnya semacam PSK (pekerja seks komersil ) yang rela di-pegang-pegang tak senonoh tapi tak dibayar. Berarti lebih rendah daripada PSK. Dan saat ini kosakata ini merebak dimana-mana khususnya didaerah padat penduduk di perkotaan Jakarta, sebuah fenomena bukan??
[20] Mungkin orang Jepang sebagai produsen terbesar pesawat televisi akan kaget bila datang ke Indonesia, dimana dinegara mereka mungkin tayangan televisi dipenuhi dengan tayangan edukatif dan tekhnologi. Tapi ketika datang ke Indonesia televisi yang canggih digunakan untuk ngejar-ngejar hantu, sangat patut untuk disayangkan
[21] Alasan saya mengangkat solusi ini paling awal agar tanggung jawab saya didepan Alloh terealisasi untuk mendakwahkan Islam, dan agar saya tak dicap sebagai seorang yang sekuler bahkan liberal. Terlebih ditengah suasana kampus yang penuh kecaman dari banyak orang akan ideology sekuler-liberal yang telah menjadi rahasia umum. Semoga Alloh menyelamatkan saya dan pembaca yang membaca tulisan ini dan memberikan ampunan_nya bagi warga kampus UIN Jakarta ini.
[22] Drs. Wawan Kuswandi. Komunikasi Massa : sebuah analisis media televisi, hal. 100