Saturday, December 27, 2014

Islam Agama yang Sempurna (Bagian 4: Berpegang pada Hukum Selain Syariat Islam)

,
Islam Agama yang Sempurna (Bagian 4: Berpegang pada Hukum Selain Syariat Islam)

Disusun oleh Syekh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi (1305 H–1393 H)
Diterjemahkan oleh Ustadz Muslim Atsari
4. Berpegang pada Hukum Lain selain Syariat Islam yang Mulia

Alquran telah menjelaskan bahwa hal itu (yaitu berpegang pada hukum lain selain syariat Islam yang mulia, ed.) merupakan kekafiran yang nyata dan syirik terhadap Allah ta’ala. [6] Ketika setan membisikkan kepada orang-orang kafir Mekah agar bertanya kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seekor kambing yang telah menjadi bangkai, “Siapa yang mematikannya?” Beliau menjawab, “Allah yang mematikannya.” Kemudian setan membisikkan kepada mereka agar berkata kepada beliau, “Apa yang kamu sembelih dengan tanganmu itu halal, sedangkan yang Allah sembelih dengan tangan-Nya yang mulia itu haram? Kalau begitu kamu (umat Islam) lebih baik dari Allah!” [7]
Karena itulah, Allah menurunkan firman,
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ{121}
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya, perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya, setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik.” (Q.s. Al-An’am [6]:121)

Tidak adanya huruf fa’ (yang artinya “maka”) di dalam firman Allah, ”Sesungguhnya tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik,” sebagai tanda yang jelas terhadap ketetapan huruf lam sebagai pengantar sumpah. Dengan demikian, ini sebagai sumpah dari Allah jalla wa ‘ala di dalam ayat yang mulia ini bahwa barang siapa menaati setan di dalam peraturannya untuk menghalalkan bangkai maka dia adalah seorang musyrik. Itu merupakan syirik akbar (terbesar) yang mengeluarkan dari agama Islam dengan ijma’ kaum muslimin. Allah pun akan menegur pelakunya pada hari kiamat dengan firmannya,

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَن لاَّتَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ {60} وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ {61}
“’… Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, wahai Bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya, setan itu musuh nyata bagimu,’ dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (Q.s. Yasin [36]:60–61)
Allah ta’ala juga berfirman memberitakan perkataan kekasih-Nya, Nabi Ibrahim,
يَآأَبَتِ لاَتَعْبُدِ الشَّيْطَانَ
“Wahai ayahandaku, janganlah engkau meyembah setan.” (Q.s. Maryam [19]:44)
“Menyembah setan” artinya ‘mengikutinya di dalam mensyariatkan kekafiran dan kemaksiatan-kemaksiatan’.
Allah juga berfirman,
إِن يَدْعُونَ مِن دُونِهِ إِلآَّإنِاَثاً وَإِن يَدْعُونَ إِلاَّشَيْطَانًا مَّرِيدَا
“Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka.” (Q.s. An-Nisa’ [4]:117)
Allah juga berfirman,
وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِكَثِيرٍ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلاَدِهِمْ شُرَكَآؤُهُمْ
“Dan demikianlah sekutu-sekutu mereka (pemimpin-pemimpin mereka) telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik tindakan membunuh anak-anak mereka.” (Q.s. Al-An’am [6]:137)
Allah menamakan pemimpin-pemimpin mereka dengan “sekutu-sekutu” karena ketaatan orang-orang yang musyrik kepada para pemimpin itu adalah di dalam maksiat kepada Allah, dengan membunuh anak-anak mereka.

Ketika Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allah,
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا
“Mereka (ahli kitab) menjadikan orang-orang alim di kalangan mereka serta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.” (Q.s. At-Taubah [9]:31)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa makna “menjadikan orang-orang alim di kalangan mereka serta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah” adalah ‘para pengikut itu mengikuti mereka di dalam mengharamkan perkara yang telah Allah halalkan dan dalam menghalalkan perkara yang telah Allah haramkan. [8]
Ini adalah perkara yang tidak diselisihi oleh siapa pun.
Allah ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya telah beriman kepada risalah yang diturunkan kepadamu dan kepada risalah yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada Tagut. Padahal, mereka telah diperintah mengingkari Tagut itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan sejauh-jauhnya.” (Q.s. An-Nisa’ [4]:60)
Allah juga berfirman,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ {44}
“Barang siapa tidak memutuskan menurut ketetapan yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.s. Al-Maidah [5]:44)
Allah juga berfirman,
أَفَغَيْرَ اللهِ أَبْتَغِيْ حَكَمًاوَهُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً وَالَّذِيْنَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ {114}
“Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah? Padahal, Dialah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan rinci. Orang-orang, yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Karenanya, janganlah sampai kamu termasuk orang yang ragu.” (Q.s. Al-An’am [6]:114)
Allah juga berfirman,
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَمُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ {115}
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Alquran), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya; dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-An’am [6]:115)
Firman Allah ”yang benar”, yaitu di dalam berita-berita, ” dan adil”, yaitu di dalam hukum-hukum.
Allah juga berfirman,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ {50}
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.s. Al-Maidah [5]:50)




[6]        Hal ini disertai perincian yang telah dikenal di kalangan ulama ahlus sunnah zaman dahulu maupun zaman sekarang, sebagaimana dikatakan sendiri oleh Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah. Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa penjelasan masalah ini adalah: bahwa di dalam syariat, terkadang yang dimaksud dengan kekafiran, kezaliman, dan kefasikan adalah “kemaksiatan”, terkadang juga maksdunya adalah “kekafiran yang mengeluarkan dari agama”.

Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut aturan yang diturunkan Allah ….” Disebabkan oleh sikap menentang para rasul dan membatalkan hukum-hukum Allah, maka kezaliman, kefasikan, dan kekafirannya itu bisa mengeluarkan seseorang dari agama (Islam).

            “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut aturan yang diturunkan Allah ….” Dengan meyakini bahwa dia telah melakukan perkara yang haram dan perkara yang buruk, sehingga kekafiran, kezaliman, dan kefasikannya tidak mengeluarkan dirinya dari agama (Islam).” (Tafsir Adhwaul Bayan, juz 2, hlm. 104).

Lihat pembahasan yang sangat penting ini di dalam kitab Qurratul ‘Uyun, karya Syekh Abu Usamah Salim bin ’Ied Al-Hilali hafizhahullah.
[7]        (Semakna dengan hadis ini juga) diriwayatkan oleh Abu Daud, Kitab “Dhahaya (Binatang-Bintang Sembelihan)”, Bab “Tentang Sembelihan Ahli Kitab”, juz 3, hlm. 245, no. 2818; Tirmidzi, Kitab “Tafsir Alquran”, Bab ”Dan dari Surat Al-An’am”, juz 5, hlm. 246; no. 3069; Nasa’i, Kitab “Dhahaya”, Bab “Ta’wil Firman Allah, ‘Dan janganlah kamu memakan  binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya’”, juz 7, hlm. 237; no. 4437, dengan penelitian Abdul Fattah Abu Ghuddah; juga riwayat Ibnu Majah dengan makna yang lain, Kitab “Sembelihan-Sembelihan”, Bab “Membaca Basmalah ketika Menyembelih”, juz 2, hlm. 1059, no. 3173.
[8]        H.R. Tirmidzi, Kitab “Tafsir Alquran”, Bab “Dan dari Surat At-Taubah”, juz 5, hlm. 259; no. 3095; beliau berkata, “Ini hadis gharib.”