Saturday, December 27, 2014

Islam Agama yang Sempurna (Bagian 2: Nasihat)

,
Islam Agama yang Sempurna (Bagian 2: Nasihat)
Disusun oleh Syekh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi (1305 H–1393 H)
Diterjemahkan oleh Ustadz Muslim Atsari

2. Nasihat
Para ulama telah sepakat bahwa Allah ta’ala tidaklah menurunkan “pemberi nasihat” yang paling besar dan “pencegah” yang paling agung, dari langit menuju bumi, dibandingkan nasihat muraqabah (pengawasan) dan ilmu. Yaitu, bahwa manusia selalu memperhatikan bahwa Penguasanya (Allah) jalla wa ‘ala selalu mengawasinya serta mengetahui semua yang dia sembunyikan dan yang dia tampakkan.

Para ulama membuat perumpamaan–tentang “pemberi nasihat” yang paling besar dan “pencegah” yang paling agung tersebut–dengan gambaran yang menjadikan perkara yang dipahami dengan akal itu layaknya perkara kasat mata. Mereka mengatakan, ”Seandainya kita umpamakan seorang raja yang sangat banyak menumpahkan darah, sangat banyak membunuh orang, sangat besar kekuatan dan hukumannya, algojonya berdiri tegak di hadapannya, tikar kulit (untuk tempat darah) telah dihamparkan, pedangnya masih meneteskan darah, dan di sekitar raja tersebut terdapat putri-putrinya dan istri-istrinya, apakah terbetik di dalam pikiran bahwa ada seseorang di antara hadirin yang berkeinginan melakukan perbuatan yang meragukan atau perbuatan yang haram terhadap putri-putri raja tersebut dan istri-istrinya? Tidak, sama sekali tidak! Dan Allah memiliki sifat yang paling sempurna.

Bahkan, semua hadirin takut, hati mereka patuh, pandangan mereka tunduk, dan anggota badan mereka tenang. Puncak harapan mereka adalah keselamatan.

Tidak lagi ada keraguan–sedangkan Allah memiliki sifat yang paling sempurna–bahwa Allah jalla wa ‘ala lebih besar pengawasan-Nya dan lebih luas ilmu-Nya daripada raja tersebut. Dan tidak ada keraguan bahwa Allah jalla wa ‘ala memiliki hukuman yang lebih perih,  kekuatan yang lebih besar, dan siksaan yang lebih mengerikan.

Padahal, tanah larangan Allah adalah perkara-perkara yang Dia haramkan. Seandainya penduduk suatu kota mengetahui bahwa pemimpin kotanya (gubernur atau bupati) mengetahui semua yang mereka lakukan di malam hari, mereka pasti melewati malam mereka dengan takut dan meninggalkan seluruh kemungkaran karena takut kepada pemimpin tersebut.

Sesungguhnya, Allah telah menjelaskan bahwa hikmah penciptaan makhluk adalah untuk menguji mereka:
أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (Q.s. Al-Kahfi [18]:7)
Allah juga berfirman di awal surat Hud,
uوَهُوَ الَّذِي خَلَق السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً {7}

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa–dan ‘Arsy-Nya (sebelum itu) berada di atas air–agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya.” (Q.s. Hud [11]:7)

Allah tidak berfirman ”siapakah di antara kamu yang lebih banyak amalnya”.
Allah juga berfirman di dalam surat Al-Mulk,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ {2}
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu tentang siapa saja di antara kamu yang terbaik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al-Mulk [67]:2)
Kedua ayat di atas menjelaskan maksud firman Allah,
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ {56}
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.s. Adz-Dzariyat [51]:56)
Dengan sebab hikmah penciptaan makhluk merupakan ujian yang telah disebutkan di atas, Malaikat Jibril ‘alaihis salam pun hendak menjelaskan kepada manusia perihal jalan keselamatan di dalam ujian tersebut. Karenanya, Jibril berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ
Beritahukan kepadaku tentang ihsan!”
Inilah hikmah penciptaan makhluk, (yaitu) sebagai batu ujian dalam menggapai sikap ihsan (melakukan amalan yang paling baik). Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jalan ihsan adalah “pemberi nasihat” yang paling besar dan “pencegah” yang paling agung yang telah disebutkan. Yaitu, sabda beliau,
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” [2]
Oleh karena itulah, Anda tidak membuka lembaran kertas dari mushaf kecuali Anda mendapati pemberi nasihat yang agung ini di dalamnya. Allah berfirman,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَاتُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ {16} مَّايَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ {18}
“Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui perkara yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih kepadanya daripada urat lehernya. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.s. Qaf [50]:16–18)

Juga firman-Nya,
فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَاكُنَّا غَآئِبِينَ {7}
“Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (perihal amalan yang telah mereka perbuat), sedangkan (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka). (Q.s. Al-A’raf [7]:7)
Demikian pula dengan firman-Nya,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَايَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي السَّمَآءِ وَلآَأَصْغَرَ مِن ذَلِكَ وَلآأَكْبَرَ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ {61}
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan, tidak pula membaca suatu ayat dari Alquran, tidak juga menjalankan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabbmu walau sebesar zarrah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.s. Yunus [10]:61)

Serta firman-Nya,
أَلآإِنَّهُمْ يَثْنُونَ صُدُورَهُمْ لِيَسْتَخْفُوا مِنْهُ أَلاَحِينَ يَسْتَغْشُونَ ثِيَابَهُمْ يَعْلَمُ مَايُسِرُّونَ وَمَايُعْلِنُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ {5}
“Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) memalingkan dada mereka untuk menyembunyikan diri darinya (Muhammad). Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui segala hal yang mereka sembunyikan dan segala hal yang mereka lahirkan. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Q.s. Hud [11]:5)
Semacam ini di dalam setiap tempat di dalam Alquran.


[2] Muttafaq ‘alaih, dari hadis Abu Hurairah; H.R. Bukhari, Kitabul Iman, Bab “Pertanyaan Jibril kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Iman”, juz 1, hlm. 18, (no. 50 dan 4777, pent.); Muslim, Kitabul Iman, juz 1, hlm. 39, no. 9; juga riwayat Muslim, dari hadits Umar bin Al-Khaththab, Kitabul Iman, juz 1, hlm. 36, no. 8)